Sabtu, 03 April 2010

Bersanding UU Penistaan Agama

Koran Merapi, 3 April 2010

ANTON PRASETYO
Ketua Jam’iyyah Qurra’ wal Huffadz PP Nurul Ummah Yogyakarta

Selain disibukkan dengan urusan ketidakberesan para punggawa negara, mulai dari kasus cicak lawan buaya hingga sesame buaya saling bertengkar, pada bulan-bulan terakhir ini agama juga digemparkan dengan adanya usulan penghapusan Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 tentang penistaan dan penodaan agama.
Dikarenakan ketentuan yang ada pada UU tersebut dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi, terdapat tujuh lembaga swadaya masyarakat dan empat tokoh nasional meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan larangan penafsiran agama-agama yang dianut di Indonesia yang tercantum dalam UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Dari ketujuhnya LSM tersebut diantaranya adalah Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Sementara empat empat tokoh nasional yang mendukungnya adalah almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo dan KH Maman Imanul Haq.
Tanpa Payung
Dari sinilah terdapat pro dan kontra atas keinginan untuk Uji Materi (judicial review) atas Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 ini. Secara umum, insan religi merasa penting keberadaan UU tersebut. Tak terbatas pada agama Islam, Kristen atau yang lainnya. Keenam agama yang diakui di negara Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu) banyak yang membutuhkan keberadaan UU tersebut.
UU tersebut sangat membantu keberadaan agama untuk bisa menjalankan dan berdakwah sesuai dengan yang diajarkan agama masing masing. Sementara, jika UU tersebut dicabut dan tidak ada pengganti yang sepadan atau yang memiliki kontribusi lebih darinya, dipastikan praktik penodaan (baca: penyimpangan) agama akan terjadi di mana-mana. Dalam agama Islam misalnya, selama ini telah banyak berkembang aliran-aliran yang sangat jauh berbeda dengan ajaran yang sesungguhnya.
Lihatlah dalam agama Islam, sangat banyak aliran yang dianggap menyimpang dari ajaran sesungguhnya (juga sering dikatakan sesat). Diantaranya adalah aliran Ahmadiyah, Lia Eden, nabi palsu Moshadeq dan lain-lain sebagainya. Selama ini, dengan adanya UU tersebut, secara langsung atau tidak, negara selalu memberikan bantuan kepada agama untuk memurnikannya kembali ke jalan yang benar.
Kenyataan adanya ajaran sesat semacam ini tentu akan menjadi keresahan tersendiri bagi pemeluk agama bersangkutan. Bagaiamana tidak, agama yang selama ini menjadi pencerah (karena pada dasarnya agamanya selalu mencerahkan), langsung menurun namanya karena ter/difitnah oleh orang-orang atau kelompok yang tidak bertanggung jawab. Mereka semakin tidak terang dalam menjalankan ajaran agamanya karena khawatir bahwa orang lain tidak lagi mempercayai agamanya (dikarenakan adanya praktik kesesatan dalam agamanya).
Berakar dari sinilah pemeluk agama selalu tidak rela jika agamanya terdampar dalam lembah nista karena adanya fitnah. Dalam pada itu, di negara Indonesia yang notabene adalah negara tak berlandaskan pada agama, tentu akan angkat tangan dan hanya melihat saat tidak ada UU yang mengaturnya. Sementara agama akan bergerak secara individu dalam mengatasi deritanya.
Pemerintah Tolak Cabut UU
Hanya saja mutakhir insan religi patut untuk berbangga hati. Usulan pencabutan UU tentang penistaan dan penodaan agama ditolak oleh pemerintah. Terdapat beragam pertimbangan sehingga UU ini masih perlu dipertahankan. Jika saja pemerintah tetap menuruti usulan beragam LSM dan beberapa tokoh nasional ini, maka dikhawatirkan pertama, akan terjadi gerakan ateis dalam negara kesatuan republik Indonesia ini.
Gerakan pembatalan UU ini dinilai oleh KH Hasyim Muzadi sebagai gerakan atheis. Kenapa demikian? UU ini diperkarakan karena dinilai diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan terhadap agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, dan agama-agama atau aliran keyakinan lainnya. Namun mantan Ketua Umum PBNU (saat itu masih menjabat) yang juga pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang, Jawa Timur berpendapat bahwa persoalan penyalahgunaan dan penodaan agama bukan masalah demokrasi atau HAM, namun persoalan hak sebuah agama untuk mempertahankan eksistensinya. Dan dirinya juga berpendapat bahwa perkara ini tidak bisa dihapus atau dirusak hanya dengan alasan demokratisasi.
Kedua, akan memicu kebebasan untuk menghujat agama. Dalam hal ini KH Hasyim Muzadi juga berpendapat bahwa jika UU tersebut sampai dicabut, maka orang akan dengan bebas menghujat agama dengan alasan demokrasi dan hak asasi manusia. Ketiga, merajalelanya anarkisme. Masih pendapat KH Hasyim Muzadi, dirinya mengungkapkan, jika tidak ada hukum maka masyarakat akan berlaku anarkis.
Keempat, melegalkan aliran dan sekte sesat. Dalam hai ini Front Pembela Islam (FPI) berpendapat bahwa usulan pencabutan UU inio mempunyai bermotif untuk melegalkan aliran dan sekte sesat. Menurutnya, judicial review ini dimaksudkan sebagai legalisasi atas aliran-aliran sesat. Kelima, mengorbankan kaum minoritas. Ketua Komisi Kerukunan antar Umat Beragam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf menilai bahwa, jika usulan ini dituruti, bukan saja agama mayoritas yang menjadi korban namun juga agama minoritas. Keenam, terjadinya penyimpangan agama yang tak terhidnarkan. Di sini Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makruf Amin berpendapat bahwa upaya judicial review ini menimbulkan bahaya pada kehidupan beragama di Indonesia.
Ketujuh, orang akan saling menodai agama lain. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengungkapkan bahwa UU ini masih diperlukan untuk mencegah konflik agama di masyarakat. Sehingga jika tidak ada akan menimbulkan penidaan agama yang dilakukan masing-masing orang dalam sebuah agama. Kedelapan, terjadinya konflik besar. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berpendapat bahwa UU ini sangat besar pengaruhnya dalam meredam konflik dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Beragama dengan Tenang
Kendati permasalahan usulan pencabutan UU No 5/1969 tentang penistaan dan penodaan agama ini sudah (dianggap) usai dengan hasil bahwa pemerintah tidak akan mencabutnya, bukan bearti permasalahan agama sudah selesai. Dengan adanya UU tersebut meskinya menjadikan umat semakin khusuk dalam menjalankan agama. Sebagai umat beragama, benarkah kita sudah demikian? Wallahu a’lam