Sabtu, 10 April 2010

Filosofi Kenduri dalam Ritual 100 Hari

Opini Kedaulatan Rakyat, 9 April 2010

ANTON PRASETYO

Upacara peringatan 100 hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tak hanya dilakukan oleh ahli warisnya. Beragam komponen masyarakat, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat kelas kakap, termasuk pemerintah memperingatinya. Beraneka bentuk kegiatan pun digelar dalam rangka mengenangnya. Dari kegiatan pertunjukan drama dan seni, refleksi, hingga kenduri di desa-desa dilakukan bulan April 2010 ini.
Menarik saat membahas kenduri peringatan 100 hari wafatnya orang Islam. Ada kelompok yang mengatakan bahwa kegiatan ini adalah sebuah ritual ibadah, namun ada pula yang mengatakannya sebagai bid’ah, bahkan mengafirkan pelakunya. Kendati demikian, dalam sketsa singkat ini, penulis tidak akan membahas “persengketaan ideologi’ kedua kelompok tersebut. Ada hal menarik yang (kiranya) tak kalah penting untuk dibahas daripada persengketaan keduanya, yaitu makna atau filosofi ritual kenduri yang ada pada peringatan 7, 40, 100 hingga 1000 hari orang meninggal dunia.
Mengapa membahas kenduri penting? Ritual bernapaskan tradisional ini sudah menjadi heritage (baca: warisan budaya) yang mentradisi di sebagian kelompok masyarakat semenjak agama Islam diperkenalkan di wilayah Nusantara. Konon, kenduri ini adalah sebuah ritual yang sudah mengakar sebagai tradisi di berbagai masyarakat, semenjak agama Islam belum masuk. Dalam pada itulah para wali yang notabene terkenal dengan dakwahnya yang tolerantif selalu ingin memasukkan ajaran agama Islam tanpa harus “melukai” hati masyarakat setempat. Maka dari itulah para wali terus berupaya menggunakan akal kreatifnya untuk mengenalkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat setempat dengan cara yang sangat fleksibel sehingga bisa diterima dengan baik.
Sekilas ritual semacam kenduri adalah sebuah ritual yang menyimpang dari agama. Bagaimana tidak dalam kenduri seakan menghamburkan nasi dan berbagai jenis makanan. Apalagi harus mensyaratkan serangkaian jenis makanan untuk dikatakan sebagai ritual kenduri. Dalam kenduri tak sekadar ada nasi, sayur dan lauk seadanya, namun memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri. Banyak macam lauk yang harus dipenuhi dalam ritual kenduri. Hanya saja, oleh para wali, semuanya diberikan nilai/filosofi sehingga semuanya menjadi amal ibadah.
Di antara hak yang harus ada dalam kenduri adalah ingkung. Ingkung adalah ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental). Di samping itu, jago tersebut dibuat menelikung sebagaimana orang duduk tasyahud (tahiyat dalam salat). Kondisi ini merupakan simbol penyembahan makhluk kepada sang Khalik (Tuhan) dengan khusuk (menekung) dan hati yang tenang (wening). Upaya untuk meraih ketenangan hati dapat dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar atau dalam bahasa Jawa sering dikata ngereh rasa.
Keberadaan ayam jago dalam ritual kenduri juga memiliki makna agar makhluk selalu menyembelih (baca: menghilangkan) beragam sifat buruk yang banyak dimiliki ayam jago. Sebagaimana yang kita tahu, ayam jago juga selalu sombong, congkak, kalau berkokok (berbicara) selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri, tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri dan lain sebagainya. Dengan adanya penyembelihan ayam jago ini diharapkan manusia bisa menghindari seluruh sifat-sifat jelek yang menjadi penyakit hati tersebut. Dengan begitu, kedekatan manusia kepada Khalik dan makhluk-Nya akan terus terjaga dan semakin erat.
Di samping ayam jago, terdapat juga dalam ritual kenduri adalah telur yang direbus pindang yang disuguhkan utuh beserta cangkangnya. Telur ini memiliki filosofi yang sangat dalam, yaitu manusia harus memiliki etos kerja yang tinggi. Dalam telur rebus pindang yang saat disuguhkan masih utuh dengan cangkangnya, berarti orang yang akan menikmatinya harus mengupasnya terlebih dahulu dengan upaya yang hati-hati dan penuh konsentrasi. Artinya, setiap pekerjaan manusia meskinya harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya sehingga memperoleh hasil akhir yang maksimal.
Dalam piwulang Jawa terdapat ajaran , yang dalam bahasa kita, kira-kira bisa diartikan “etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan dan diselesaikan dengan tuntas”.
Terlebih dari itu, telur juga memiliki filosofi bahwa makhluk (baca: manusia) diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama. Perbedaan yang dianggap oleh Tuhan hanyalah tingkat ketakwaan kepada-Nya. Di samping itu juga bagaimana dirinya bersosial, sudah bisakah shalik kepada sesama? Ada juga lauk dalam ritual kenduri berupa ikan lele dan ikan teri. Ikan lele sebagai simbol bahwa manusia harus tabah dalam mengarungi kehidupannya. Sementara ikan teri sebagai simbol bahwa manusia meskinya hidup bersama, saling gotong-royong dan kerja sama.
Ada lagi dalam ritual kenduri, berupa sayuran dan urab-uraban. Di antara sayuran yang digunakan adalah kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau sering disebut urap. Beragam jenis sayuran tersebut memiliki makna tersendiri.
Singkatnya, seluruh yang ada pada komponen kenduri memiliki filosofi tersendiri, yang kesemuanya adalah untuk membentuk manusia semakin saleh kepada Tuhannya (vertikal) dan saleh kepada sesama makhluk (horizontal) atau kesalehan sosial. Maka dari itu, melalui mimbar peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur ini, jangan sampai ritual agung ini menjadi muspro, hanya sekadar wahana mengenang sang guru bangsa ini tanpa memiliki nilai yang dapat memajukan tingkat kesalehan kita. Kenduri 100 hari harus bisa meningkatkan kesalehan kita kepada Tuhan juga kepada sesama. Wallahu a’lam. q - g. (630-2010).
*) Anton Prasetyo, Ketua Jam’iyyah Qurra’ wal Huffadz PP Nurul Ummah Yogyakarta.

Kamis, 08 April 2010

Ketika 40 Persen PTS Tak Sehat

Anton Prasetyo

Kedaulatan Rakyat, 8 April 2010

Mutakhir, Koordinator Kopertis Wilayah V DIY, Prof Dr Budi Santosa Wignyosukarto Dipl HE, menyampaikan bahwa tahun 2012 mendatang ditargetkan semua dosen harus bergelar S2. Di samping itu, pada tahun 2014 ditargetkan pula semua dosen sudah tersertifikasi. Hanya saja, 40 persen dari perguruan tinggi swasta (PTS) sampai kini tak sehat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tidak sehatnya sebuah PTS, imbuh Budi, ada pada kualitas dosen itu sendiri, keterbatasan tenaga pengajar, minimnya sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar bahkan minimnya jumlah mahasiswa. “Salah satu indikator PTS tak sehat itu, mahasiswanya kurang dari 1.000 orang sehingga mau tidak mau harus merger. Bagaimanapun juga PTS itu kan tergantung pada jumlah mahasiswa, semakin mahasiswanya banyak, itu berarti PTS tersebut semakin diminati dan berarti kondisinya sehat,” jelasnya. (Kedaulatan Rakyat, 6/4/2010).
Jika menanggapi Koordinator Kopertis Wilayah V DIY di atas, tentang target S2 untuk seluruh dosen dan sertifikasinya pada tahun 2014, tentu tak begitu sulit. Banyak jalan yang dapat dilakukan pemerintah atau terpaksanya setiap individu yang bersangkutan agar target tersebut terpenuhi. Untuk menargetkan tahun 2012 dosen harus S2, pemerintah dapat membiayai pendidikan S2 setiap dosen yang belum bertitel S2. Jika terpaksanya pemerintah tidak bisa (untuk mengatakan tidak mau), para dosen bisa berinisiatif untuk kuliah sendiri. Para dosen yang belum bergelar S2 ini, meski sekarang belum menapaki kuliah S2, dirinya masih diuntungkan, karena pemerintah memberi kesempatan untuk mengupayakannya. Waktu 2 tahun (2010-2012) bisa digunakan untuk seluruh proses belajar mengajar S2 mulai dari pendaftaran hingga yudisium.
Tentang sertifikasi pun demikian. Para dosen dapat mengupayakan dengan sekuat tenaga dalam jangka 4 tahun ini untuk mengejar nilai sertifikasi sebagaimana yang distandarkan pemerintah. Apalagi kini banyak kegiatan yang dapat diikuti para dosen sehingga menjadikan bobot poin sertifikasinya semakin melonjak. Waktu 4 adalah kesempatan besar bagi dosen untuk meraih sertifikasi. Hanya saja, meskipun dosen, tanpa adanya kreatifitas nyata, tak mungkin akan tersertifikasi meski dengan jangka waktu yang relatif panjang.
Yang menjadi permasalahan utama sekarang adalah, terkait kualitas dosen, keterbatasan tenaga pengajar, minimnya sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar dan minimnya jumlah mahasiswa. Dalam ranah ini, pembahasannya adalah terkait dengan kualitas. Dari kesemuanya tidak dapat diraih hanya dengan para dosen ber-S2 atau bersertifikasi. Keduanya tak dapat menjamin kualitas dosen semakin baik. Dalam artian, dosen yang telah tersertifikasi dan ber-S2 belum tentu bisa memiliki nilai guna yang lebih dari pada dosen yang belum memenuhi keduanya.
Begitu pula dengan minimnya tenaga pengajar juga sarana dan prasarana. Kedunya meski bisa diupayakan, namun tidak semua PTS bisa melakukannya dengan cepat. Apalagi kaitan dengan jumlah mahasiswa, ini terkait dengan kualitas dan citra PTS bersangkutan. Sangat susah PTS yang belum memiliki citra bagus akan langsung melejit, mengeruk banyak mahasiswanya. Dengan kata lain, bagaimanapun kualitas PTS, termasuk instrumennya harus selalalu memiliki kualitas unggulan, bukan sekedar kuantitas. Wallahu a’lam

Sabtu, 03 April 2010

Bersanding UU Penistaan Agama

Koran Merapi, 3 April 2010

ANTON PRASETYO
Ketua Jam’iyyah Qurra’ wal Huffadz PP Nurul Ummah Yogyakarta

Selain disibukkan dengan urusan ketidakberesan para punggawa negara, mulai dari kasus cicak lawan buaya hingga sesame buaya saling bertengkar, pada bulan-bulan terakhir ini agama juga digemparkan dengan adanya usulan penghapusan Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 tentang penistaan dan penodaan agama.
Dikarenakan ketentuan yang ada pada UU tersebut dinilai melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi, terdapat tujuh lembaga swadaya masyarakat dan empat tokoh nasional meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan larangan penafsiran agama-agama yang dianut di Indonesia yang tercantum dalam UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Dari ketujuhnya LSM tersebut diantaranya adalah Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi HAM dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Sementara empat empat tokoh nasional yang mendukungnya adalah almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Musdah Mulia, Dawam Raharjo dan KH Maman Imanul Haq.
Tanpa Payung
Dari sinilah terdapat pro dan kontra atas keinginan untuk Uji Materi (judicial review) atas Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 ini. Secara umum, insan religi merasa penting keberadaan UU tersebut. Tak terbatas pada agama Islam, Kristen atau yang lainnya. Keenam agama yang diakui di negara Indonesia (Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu) banyak yang membutuhkan keberadaan UU tersebut.
UU tersebut sangat membantu keberadaan agama untuk bisa menjalankan dan berdakwah sesuai dengan yang diajarkan agama masing masing. Sementara, jika UU tersebut dicabut dan tidak ada pengganti yang sepadan atau yang memiliki kontribusi lebih darinya, dipastikan praktik penodaan (baca: penyimpangan) agama akan terjadi di mana-mana. Dalam agama Islam misalnya, selama ini telah banyak berkembang aliran-aliran yang sangat jauh berbeda dengan ajaran yang sesungguhnya.
Lihatlah dalam agama Islam, sangat banyak aliran yang dianggap menyimpang dari ajaran sesungguhnya (juga sering dikatakan sesat). Diantaranya adalah aliran Ahmadiyah, Lia Eden, nabi palsu Moshadeq dan lain-lain sebagainya. Selama ini, dengan adanya UU tersebut, secara langsung atau tidak, negara selalu memberikan bantuan kepada agama untuk memurnikannya kembali ke jalan yang benar.
Kenyataan adanya ajaran sesat semacam ini tentu akan menjadi keresahan tersendiri bagi pemeluk agama bersangkutan. Bagaiamana tidak, agama yang selama ini menjadi pencerah (karena pada dasarnya agamanya selalu mencerahkan), langsung menurun namanya karena ter/difitnah oleh orang-orang atau kelompok yang tidak bertanggung jawab. Mereka semakin tidak terang dalam menjalankan ajaran agamanya karena khawatir bahwa orang lain tidak lagi mempercayai agamanya (dikarenakan adanya praktik kesesatan dalam agamanya).
Berakar dari sinilah pemeluk agama selalu tidak rela jika agamanya terdampar dalam lembah nista karena adanya fitnah. Dalam pada itu, di negara Indonesia yang notabene adalah negara tak berlandaskan pada agama, tentu akan angkat tangan dan hanya melihat saat tidak ada UU yang mengaturnya. Sementara agama akan bergerak secara individu dalam mengatasi deritanya.
Pemerintah Tolak Cabut UU
Hanya saja mutakhir insan religi patut untuk berbangga hati. Usulan pencabutan UU tentang penistaan dan penodaan agama ditolak oleh pemerintah. Terdapat beragam pertimbangan sehingga UU ini masih perlu dipertahankan. Jika saja pemerintah tetap menuruti usulan beragam LSM dan beberapa tokoh nasional ini, maka dikhawatirkan pertama, akan terjadi gerakan ateis dalam negara kesatuan republik Indonesia ini.
Gerakan pembatalan UU ini dinilai oleh KH Hasyim Muzadi sebagai gerakan atheis. Kenapa demikian? UU ini diperkarakan karena dinilai diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan terhadap agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, dan agama-agama atau aliran keyakinan lainnya. Namun mantan Ketua Umum PBNU (saat itu masih menjabat) yang juga pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang, Jawa Timur berpendapat bahwa persoalan penyalahgunaan dan penodaan agama bukan masalah demokrasi atau HAM, namun persoalan hak sebuah agama untuk mempertahankan eksistensinya. Dan dirinya juga berpendapat bahwa perkara ini tidak bisa dihapus atau dirusak hanya dengan alasan demokratisasi.
Kedua, akan memicu kebebasan untuk menghujat agama. Dalam hal ini KH Hasyim Muzadi juga berpendapat bahwa jika UU tersebut sampai dicabut, maka orang akan dengan bebas menghujat agama dengan alasan demokrasi dan hak asasi manusia. Ketiga, merajalelanya anarkisme. Masih pendapat KH Hasyim Muzadi, dirinya mengungkapkan, jika tidak ada hukum maka masyarakat akan berlaku anarkis.
Keempat, melegalkan aliran dan sekte sesat. Dalam hai ini Front Pembela Islam (FPI) berpendapat bahwa usulan pencabutan UU inio mempunyai bermotif untuk melegalkan aliran dan sekte sesat. Menurutnya, judicial review ini dimaksudkan sebagai legalisasi atas aliran-aliran sesat. Kelima, mengorbankan kaum minoritas. Ketua Komisi Kerukunan antar Umat Beragam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf menilai bahwa, jika usulan ini dituruti, bukan saja agama mayoritas yang menjadi korban namun juga agama minoritas. Keenam, terjadinya penyimpangan agama yang tak terhidnarkan. Di sini Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makruf Amin berpendapat bahwa upaya judicial review ini menimbulkan bahaya pada kehidupan beragama di Indonesia.
Ketujuh, orang akan saling menodai agama lain. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengungkapkan bahwa UU ini masih diperlukan untuk mencegah konflik agama di masyarakat. Sehingga jika tidak ada akan menimbulkan penidaan agama yang dilakukan masing-masing orang dalam sebuah agama. Kedelapan, terjadinya konflik besar. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berpendapat bahwa UU ini sangat besar pengaruhnya dalam meredam konflik dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Beragama dengan Tenang
Kendati permasalahan usulan pencabutan UU No 5/1969 tentang penistaan dan penodaan agama ini sudah (dianggap) usai dengan hasil bahwa pemerintah tidak akan mencabutnya, bukan bearti permasalahan agama sudah selesai. Dengan adanya UU tersebut meskinya menjadikan umat semakin khusuk dalam menjalankan agama. Sebagai umat beragama, benarkah kita sudah demikian? Wallahu a’lam

Selasa, 30 Maret 2010

Peran Ganda Perempuan Karir

Peran Ganda Perempuan Karir

pelita, 30 Maret 2010

Oleh Anton Prasetyo

ERA kontemporer menuntut peran kaum perempuan berstatus ganda. Selain sebagai ibu dan istri juga menuntutnya bekerja di luar rumah sebagai perempaun karir. Kondisi ini bukan dianggap sebagai pemberat bagi kaum perempuan dalam menjalankan kehidupannya, bahkan dianggap sebagai pembebas. Pasalnya selama ini kaum perempuan dianggap tabu untuk keluar rumah sehingga mengekang dirinya dalam berbagai aktivitas.
Adanya pengekangan ini menjadikan kaum perempuan tidak dianggap setara dengan kaum laki-laki. Dengan keterbatasan keluar dan bekerja dapat diartikan bahwa kaum perempuan tidak diberi kesempatan sama untuk mengembangkan kemampuan sebagaimana kaum laki-laki. Kenyataan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap perempuan.
Lihatlah betepa kaum perempuan dengan tiadanya kebebasan untuk berkarir hanya berkisar pada tiga tempat, kasur dapur dan kasur.
Artinya kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk belajar dan mengembangkan kemampuan intelektual melalui praktik kerja. Hal-hal yang dialkukan adalah sekitar mencuci pakaian, memandikan sekaligus mengurus anak, memasak dan melayani suami.
Sehingga dari sini praktik adanya deskriminasi terhadap kaum perempuan sudah saatnya dipungkasi. Tak s edikit data menerangkan betapa menjadi perempuan karir lebih baik dari pada hanya berperan tunggal.
Dalam sebuah penelitian terhadap kaum perempuan Inggris yang lahir pada 1946 misalnya. Dalam penelitian ini para ilmuwan menemukan bahwa perempuan yang mempunyai peran ganda, semisal sebagai perempuan karir dan ibu rumah tangga, atau menjadi single parent sambil bekerja, cenderung memiliki kondisi kesehatan jauh lebih baik dibandingkan dengan perempuan yang hanya sebagai ibu rumah tangga.
Realita yang terjadi, perempuan yang hanya mempunyai satu peran dalam kehidupannya, baik yang hanya menjadi ibu rumah tangga atau perempuan berkerja yang tetap melajang, setelah mencapai usia paruh baya, mayoritas mengalami penurunan kondisi kesehatan yang cukup serius.
Seorang perempuan yang hidupnya hanya sebagai ibu rumah tangga memiliki kondisi kesehatan yang jauh dari standar sehat. Selanjutnya, perempuan yang hanya berperan sebagai orang tua tunggal dan yang terakhir adalah mereka yang tidak memiliki anak atau tetap melajang.
Bagi seorang perempuan yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga cenderung memiliki berat badan yang berlebihan, menduduki tingkat obesitas rata-rata yang paling tinggi sekitar 38 persen. Berbeda dengan perempuan yang berperan sebagai istri, ibu dan sekaligus berkarir, rata-rata tidak berlebih berat badannya.
Dalam pada itu, Dr Anne McMunn dari University College, London, dalam laporannya menerangkan bahwa perempuan yang mempunyai dua atau lebih peran, setelah kurun waktu yang lama akan memiliki kondisi kesehatan yang baik pada saat ia mencapai usia 54 tahun. Hal ini karena perempuan karir lebih cenderung bisa mengombinasikan karir dan keluarganya dalam menjalani kehidupan.
Peran Ganda Perempuan
Betapapun kaum perempuan dianggap lemah, setelah adanya kebebasan berkarir ternyata capaian-capaian tersebut dapat ditunjukkan. Terbukti dalam berorganisasi, berpolitik hingga bekerja, banyak posisi-posisi penting yang selama ini hanya diduduki kaum laki-laki setelah dipegang kaum perempuan malah menjadi semakin membaik.
Hanya saja kaum perempaun harus ingat, betapapun berkarir bisa saja dilakukan, sebagai kaum perempuan harus menyadari betapa harga yang harus mereka bayar sangat besar. Mereka harus bisa membayar dengan psikologi, biologi dan sosial demi mengejar predikat perempuan karir sukses.
Jika para kaum prempuan tak dapat membayarnya dengan berbagai macam persyaratan tersebut, bukan tidak mungkin karir yang mereka impikan untuk sukses akan kandas di tengah jalan.
Dalam dunia karir saat ini betapa kaum perempuan menduduki posisi penting bahkan tak dapat digantikan kaum laki-laki. Namun yang dilakukan sangat tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang bernorma dan beragama.
Banyak karir sukses yang dilakukan kaum perempuan karena hanya mengandalkan kemolekan tubuhnya, mengandalkan senyum sehingga dapat menarik perhatian banyak orang.
Banyak dalam sebuah perusahaan ataupun instansi selalu memajang sorang perempuan dengan cantik rupa, selalu senyum dan berpakaian serba minim. Dan tentu posisi-posisi seperti ini sangat sulit digantikan kaum laki-laki.
Namun demikian, karir seperti inikah yang harus dijalankan kaum perempuan kita? Betapa penelitian mengatakan bahwa seorang perempuan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga tak memilki ketahanan kesehatan sebagaimana perempuan karir, namun jika yang dimaksud dengan perempuan karir harus menjual rasa malunya, tentu mempunyai peran tunggal, menjadi ibu rumah tangga lebih mulia dari pada menjadi menjadi perempuan karir.
Di samping itu berbagai penelitian yang menghasilkan bahwa perempuan karir lebih baik dari pada yang tidak tentu bukanlah harga mati.
Bisa saja berbagai keterangan yang ada hanyalah manipulasi dan eksploitasi terselubung terhadap kaum perempuan. Dalam keterangan lain, betapa dampak sosial yang ditimbulkan karena adanya perempuan karir sangat besar. Saat ini di Eropa kaum perempuan lebih suka berkarir dari pada menjalankan perannya sebagai istri dan ibu anak-anaknya.
Bahkan karena banyaknya perempuan yang tertarik dengan dunia karir berakibat pada turunnya tingkat kesuburan perempuan dan berdampak pada cepatnya penurunan usia kerja.
Sehingga dari sini pilihan untuk menjadi perempuan harus penuh dengan pertimbangan. Jangan sampai hanya karena ingin dikata menjadi orang yang wah hingga mengorbankan kodratnya sebagai perempuan dan meninggalkan tugas utamanya dalam menyelaraskan kehidup an rumah tangga.
Pembagian tugas dalam keluarga, laki-laki berkarir mencari kecukupan keluarga dan perempuan mengurus anak dan mengatur rumah kiranya akan membuat keluarga menjadi harmonis. Jika memang perempuan ingin berperan ganda, (baca: menjalankan tugas utama dan berkarir), tentu sangat mulia, hanya saja jangan sampai melanggar norma-norma yang ada.
Banyak karir yang dapat diciptakan perempuan dengan tetap menuaikan tugasnya sebagai pendamping suaminya, diantaranya menulis untuk dibuat buku atau artikel dan berbagai kreativitas lain yang dikuasai dengan syarat tetap menjaga kodratnya sebagai seorang perempuan. Wallahu alam.

Komersialisasi Tradisi NU

Komersialisasi Tradisi NU

JOGLOSEMAR, 26/03/2010 09:00 WIB

OLEH: Anton Prasetyo

Menapaki muktamar yang ke-32 organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (Ormas NU), mengingatkan kita kepada tradisi-tradisi yang dilakukan warganya (baca: Nahdliyin). Alkisah, dalam upacara peringatan tujuh hari, 40 hari dan 1.000 hari meninggalnya salah satu warga, tak jarang saya diundang untuk membacakan tahlil, mukadaman dan lain sebagainya. Tak terkecuali di daerah Kotagede yang notabene tempat domisili penulis. Awalnya terasa agak berat dan pekewuh. Pasalnya, selama ini dalam benak penulis beranggapan bahwa tradisi-tradisi semisal tahlil hanya dilaksanakan kaum santri (baca: Nahdliyin). Sementara Kotagede sendiri adalah termasuk salah satu basis Muhammadiyah yang besar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Selama ini tradisi-tradisi yang banyak dilakukan kaum Nahdliyin dianggap sebagian orang sebagai amalan bid’ah. Bahkan kehadiran NU oleh para ulama pesantren sebagai wadah untuk menjaga tradisi-tradisi yang dianggap bid’ah oleh sebagian kelompok Islam. Bahkan saat itu Pemerintah Arab Saudi yang dimotori Wahabi berusaha memurnikan agama Islam dengan cara meniadakan tradisi-tradisi yang banyak dilakukan kaum muslimin, termasuk menghancurkan petilasan para leluhur. Adapun Muhammadiyah adalah salah satu golongan modern yang (awalnya) berpendapat bahwa tradisi-tradisi yang masuk ke dalam ibadah adalah bid’ah.
Hanya saat ini Muhammadiyah kelihatan semakin toleran atas tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan Nahdliyin. Bahkan tak sedikit mereka yang melaksanakan tradisi-tradisi kaum Nahdliyyin tanpa harus menghilangkan stempel Muhammadiyah yang ada pada dirinya. Termasuk juga amalan-amalan yang penulis laksanakan saat diundang tahlilan di Kotagede. Banyak dari mereka yang menginginkan tahlilan untuk mengirim arwah, ternyata pengikut Muhammadiyah.
Bagi kaum Nahdliyin sendiri, tentu tidak menjadi masalah jika tradisinya dipakai golongan lain. Bahkan Nahdliyin sendiri ada setelah adanya tradisi tersebut. Di samping itu, secara pribadi, sikap toleran warga Muhammadiyah terhadap tradisi-tradisi yang banyak dijaga warga Nahdliyin perlu mendapat apresiasi yang besar. Apalagi nuansa bid’ah dan mem-bid’ah-kan tidak lagi gencar dilakukannya. Muhammadiyah dan NU kini bisa dikatakan sejalan, saling melengkapi antara satu dan yang lainnya.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah, betapa semua pekerjaan sudah dikomersialisasikan. Tak peduli apakah pekerjaan tersebut sebuah tradisi, ibadah dan lain sebagainya. Banyak orang yang mengaku sebagai orang shaleh beragama, namun di mana-mana harus mendapatkan ganti rugi saat melakukan ibadah. Banyak orang mengaku sebagai sastrawan atau budayawan, namun saat dirinya mempertontonkan karyanya, orang lain harus membayar sebagai ganti jerih payahnya. Bahkan semua itu diniatkan untuk mencari harta.
Menetapkan Tarif
Dalam tahlilan dan upacara mengirim arwah pun demikian. Banyak orang yang saat mengirim arwah mengharapkan mendapat upah dari tuan rumah. Lihatlah, saat tahlilan atau mukadaman dilaksanakan tujuh hari berturut-turut setelah kematian seseorang, jika pada hari pertama pemilik rumah tidak menyuguhnya dengan baik dan tidak ada amplop, pada hari kedua dipastikan akan semakin surut tingkat kehadiran pembaca tahlil. Ini akan berlanjut pada hari ketiga, empat hingga tujuh hari.
Ini belumlah seberapa, karena harapannya masih berada dalam hati (baca: tamak). Namun ironisnya, tidak sedikit orang-orang yang melakukan ibadah yang telah mentradisi dengan menetapkan tarif saat diundang orang lain. Anehnya, tarif tersebut bukan dimaksudkan agar dirinya dalam melaksanakan ibadah dapat berjalan dengan baik, namun agar mendapatkan keuntungan darinya. Amalan ibadah yang sudah mentradisi tersebut dijadikan alat untuk bekerja dan mencari harta kekayaan.
Tradisi komersialisasi tradisi lokal dan religius ini tak hanya terjadi pada tahlilan. Rebana yang juga awalnya dianggap bid’ah, saat ini sudah merata di masyarakat. Bahkan tak jarang upacara pernikahan juga menghadirkan grup rebana. Rebana pada awalnya banyak digunakan kaum santri untuk mengiringi selawatan kepada Nabi Muhammad SAW dan tanpa maksud apa pun selain agar semakin semarak saja. Namun setelah masyarakat dapat menikmatinya dan pas digunakan untuk iringan acara-acara sakral, maka rebana banyak digunakan untuk mengiringi acara.
Di sini posisi rebana dalam komersialisasinya lebih parah dari pada tahlil. Banyak grup rebana yang menetapkan tarif ketika diminta tolong untuk mengiringi upacara-upacara sakral. Tentu hal ini sangatlah berbeda dengan saat-saat awalnya. Saat membuka-buka buku banyak kita temukan bahwa dengan rebanalah dakwah Islam diajarkan. Dengan kata lain, rebana dijadikan sarana untuk berdakwah.
Saat melihat realita ini, kita tak dapat seratus persen menyalahkan mereka. Hanya saja sangat tidak etis jika tradisi juga amalan-amalan ibadah berakhir dengan komersialisasi. Dalam perdebatan bid’ah dan mem-bid’ah-kan, tentu akan lebih menarik jika dibandingkan dengan berdebat tentang komersialisasi budaya. Dalam bid’ah dan mem-bid’ah-kan akan tercipta suasana saling memperdalam diri dalam ilmu pengetahuan. Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain saling mencari dasar sehingga tercapai kemaslahatan antara keduanya.
Namun jika perdebatan tentang komersialisasi tradisi budaya dan agama, akan sangat tak imbang. Orang yang melakukan komersialisasi tradisi akan selalu berupaya untuk membela diri agar dirinya tetap bisa menikmati upah dari hasil karyanya. Sementara orang yang tidak setuju dengan komersialisasi tradisi, tentu akan banyak diam, karena sungkan saat harus berhadapan dengan orang-orang yang mengomersialkannya. Alasan yang digunakan adalah, tidak ingin menyinggung perasaan orang lain.
Di samping itu, saat ini tak ada sesuatu pun yang bisa didapatkan tanpa adanya pengganti. Nuansa komersialisasi sudah merambah di mana-mana. Sehingga tak heran jika para pewaris tradisi ini juga berakhir mengomersialkan tradisi yang dijaganya.
Akhir kata, komersialisasi tradisi memang tak pantas. Apalagi saat membiacarakan tradisi-tradisi yang telah menjadi perdebatan lama (baca: tahlil, dziba, mukadaman dan lain sebagainya), tentu sangat tak etis. Bagaimanapun, jika hal ini yang terus berkembang dalam masyarakat kita, tradisi tersebut pasti tak lama lagi akan menurun kualitasnya karena dapat disamakan dengan barang-barang pasaran. Di samping itu, keikhlasan pemelihara budaya juga tak lagi ada padanya. Nah, yang dapat mengurangi dan menghentikan praktik-praktik ini adalah diri pribadi masing-masing. Tinggal siap atau tidak.

NU sebagai jam’iyyah dan jamaah

SOLOPOS, 23 Maret 2010 , Hal.4

NU sebagai jam’iyyah dan jamaah

Oleh : Anton Prasetyo Ketua Jam’iyyah Qurra’ wal Huffadz PP Nurul Ummah Yogyakarta

Setelah diundur, akhirnya tanggal 22 Maret 2010 Nahdlatul Ulama (NU) menggelar muktamar yang ke-32. Acara ini tentu sangat sakral. Selain dilangsungkan dengan meriah, juga sebagai tonggak awal, apakah NU ke depan akan semakin membaik atau sebaliknya, semakin tak karuan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bukan siapa yang terpilih namun seperti apa pemimpin yang terpilih.


Secara pribadi, penulis tidak mempermasalahkan; siapa saja yang terpilih menjadi ketua umum. Hanya saja sebagai sebuah organisasi (jam’iyyah) besar, NU harus bisa mengurus warganya (jamaah) di manapun tempatnya. Selama ini kita lihat NU sibuk mengurus kepentingan negara hingga masuk ke kancah politik. Pun begitu, bukan kesuksesan yang diraihnya melainkan ketiadaannnya.

Memang tidak dapat disalahkan jika NU mengurus partai (baca: orang-orang NU mengurus partai). Dalam memahami isi khitah NU tentang hubungan NU dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan pun banyak yang berbeda pendapat. Dalam alinea kelima butir delapan tertulis Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyrakatan manapun juga.

Dalam penafsiran kata “tidak terikat” ada yang berpendapat bahwa NU tidak boleh berhubungan. Namun ada pula yang memaknainya sebagai kata “independen”, yang berasal dari “in” dan “dependen”. Dari sini NU dapat diartikan tidak selalu menjaga jarak sama dengan seluruh organiasi politik dan kemasyarakatan.

Hanya saja, meski penafsiran tentang khitah NU sangat beragam, agar NU tetap menjadi NU, harus mengetahui asal mulanya. Dari sini, secara tidak langsung akan mengetahui, apa tujuan dari para pendirinya. Latar belakang berdirinya NU adalah karena niat kuat para ulama pesantren yang ingin menyuarakan pendapatnya yang berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang bermazhab Wahabi.

Kala itu tindakan Wahabi sangat bertentangan dengan pandangan para ulama pesantren. Saat itu Wahabi ingin memurnikan agama Islam namun terasa sangat keras. Tradisi-tradisi yang telah berkembang pada umat muslim, temasuk di luar Arab Saudi, semisal dziba, tahlil dan lain sebagainya ingin dimusnahkan. Bahkan petilasan para pejuang Islam pun dihancurkan. Alasan yang dijadikan dasar adalah, karena dengan adanya petilasan dan lain sebagainya akan menjadikan umat Islam mengultuskan individu.

Sementara bagi para ulama pesantren, semua itu adalah keragaman budaya yang tidak harus dimusnahkan. Menurut mereka, untuk memurnikan agama Islam tidak harus sekeras itu. Ulama pesantren cenderung mengikuti masyarakat yang ada. Mereka memegang prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasamuh) kepada masyarakat. Dalam praktiknya, mereka mengajarkan agama Islam kepada jamaahnya yang terdiri dari para santri dan kaum awam (baca: abangan) tak lepas dari budaya setempat yang ada. Jika memang bisa digabungkan keduanya, maka digabungkan. Jika memang budaya yang ada bertentangan dengan syariat Islam, maka syariat Islam tetap dimenangkan namun dengan cara yang lunak.

Saat itu ulama pesantren bermaksud mengikuti muktamar khilafah. Hanya saja ternyata cita-cita tersebut tidak terkabul karena para ulama pesantren tak mempunyai wadah berupa organisasi. Berawal dari sinilah karena niat kuat para ulama pesantren untuk datang ke muktamar khilafah, demi menyampaikan pendapatnya, maka para ulama pesantren membentuk Komite Hijaz. Komite ini dapat dikata berhasil karena bisa mengumpulkan dana besar, juga segala uba rampe sebagai bekal menjadi organisasi.

Karena keberhasilannya, maka Komite Hijaz segera menunjuk delegasi yang akan diutus untuk mengikuti muktamar khilafah. Tidak berhenti di situ. Sebelum keberangkatan delegasi yang ditunjuk, para ulama pesantren segera menetapkan nama permanennya, sebagai organisasi permanen. Maka disebutlah nama Nahdlatul Ulama (baca: NU) atau kebangkitan ulama sebagai nama organisasi yang dipilih.

Organisasi dan anggota

Berakar dari sinilah, dapat diketahui bahwa awal mula dibentuknya NU adalah untuk kebutuhan jamaah. Artinya, para ulama pesantren membentuk NU sebagai jam’iyyah keagamaan dan kemasyarakatan yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam mengurus jamaah. Kepentingan jamaah lebih utama daripada kepentingan jam’iyyah.

Sehingga harapan ke depan, setelah terpilihnya Ketua Umum PBNU pada muktamar tahun 2010, diharapkan NU bisa mengurus jamaah. Sementara jam’iyyah hendaknya diposisikan atau dijadikan sebagai kendaraan. Caranya, dalam menjalankan jam’iyyah, NU meskinya menyesuaikan kepentingan jamaahnya.

Lihatlah jamaah yang notanebe NU tulen belum tersentuh jam’iyyah. Mereka tidak terdaftar sebagai warga NU namun tetap menjalankan segala kegiatan yang merupakan ciri NU. Di desa-desa masih kita jumpai kelompok-kelompok shalawatan, mauludan, yasinan, tahlilan dan semacamnya. Mereka rutin melaksanakan ibadah-ibadah tradisional secara berjamaah ini dengan ikhlas tanpa ingin mendapatkan apapun dari orang lain. Mereka khusuk karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pada lini yang lain, sebagai jam’iyyah yang kelihatan lebih mentereng (dibandingkan jamaah), tak terlihat lagi tradisi-tradisi NU yang mestinya menjadi ruh. Bahkan tak jarang jam’iyyah NU lebih mementingkan urusan partai atau negara dari pada mengurusi jamaahnya. Hanya saja kadang mereka tidak sadar dengan apa yang dilakukan, dan merasa benar terhadap apa yang dilakukannya karena memeng tidak mengetahui bahwa di desa-desa masih ada jamaah NU yang mestinya lebih diprioritaskan. Alhasil, semoga dengan adanya reformasi pengurus, jam’iyyah NU bisa paham dan mengurus jamaahnya. Wallahu a’lam. -

Jumat, 12 Maret 2010

Refleksi Pesta (Baca) Buku Jogja?

Refleksi Pesta (Baca) Buku Jogja?

Oleh: Anton Prasetyo
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 13 Maret 2010

Pada Rabu-Senin (10-15 Maret) insan perbukuan Yogyakarta menggelar Pesta Buku Jogja (PJB) di gedung Jogja Expo Center (JEC) Janti. Langkah ini cukup menggembirakan. Nama Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan akan semakin harum. PJB kali ini dipastikan menjadi salah satu sarana peningkatan kualitas intelektual Sumber Daya Manusia (SDM) melalui baca buku.
Pada pembukaan PJB lalu (atau lihat warta KR, 11/3/2010), Idham Samawi menuturkan bahwa cerdas tanpa buku adalah omong kosong. Artinya, seberapa besar kecerdasan seseorang, tanpa digunakan untuk membaca, maka tiada manfaatnya. Jika toh seseorang memiliki kemampuan intelektual tinggi, tanpa dirinya gemar membaca, pasti ada kerumpangan di sana-sini sehingga akan menjadi kekurangan pada diri seseorang tersebut.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimanakah langkah selanjutnya setelah para insan perbukuan mengupayaan penyelenggaraan PJB guna mempermudah dan mengenalkan masyarakat terhadap buku? Adakah langkah brilian ini akan diikuti dengan langkah-langkah yang membanggakan atau mengalami kemandegan sampai di sini? PJB yang kerap kali digelar meskinya menjadikan animo membaca masyarakat semakin meningkat.
Terlepas di rumah dan kamar masing-masing, hingga saat ini di ruang publik sangat jarang (dan bahkan tidak pernah) terlihat masyarakat Yogyakarta yang membaca buku. Di bus atau saat membonceng motor para siswa dan mahasiswa lebih asyik bermain SMS dari pada membaca buku. Apalagi saat menunggu teman, menunggu angkot dan lain sebagainya, sangat jarang dari mereka yang memegang buku. Bahkan para dosen pun tak jarang yang tidak akrab dengan buku. Waktu luang mereka digunakan untuk mengobrol bersama rekan kerjanya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan atau peningkatan kualitas diri.
Dari sinilah terjadi kesenjangan yang perlu mendapat perhatian. Pada saat pesta buku, ramai pengunjung dengan membeli buku, namun pada kenyataannya, di lapangan tidak banyak yang memanfaatkan buku tersebut untuk dibaca. Memang tidak mudah untuk mengubah tradisi masyarakat dari tidak pernah memabaca buku menjadi gemar membaca buku. Apalagi kepada orang tua yang tidak banyak bercita-cita lagi. Mereka lebih banyak memikirkan kondisi perekonomian diri dan keluarganya dari pada memikirkan kualitas intelektual atau menyeluruhnya kualitas SDM.
Diantara yang dapat dilakukan adalah memberikan semangat kepada siswa dan mahasiswa untuk mentradisikan membaca. Mereka dapat dirangsang dengan cita-citanya yang akan ditujunya. Mereka tidak bisa mendapatkan apa yang dicita-citakan tanpa adanya bekerja keras dan rajin belajar. Hanya saja untuk mengarahkan mereka juga sangat sulit. Perkembangan teknologi di satu sisi memang memanjakan generasi muda untuk belajar. Namun di samping itu, perkembangan teknologi juga menjadikan generasi muda tergiur menjadikannya sebagai media game (permainan). Selain HP untuk SMS pada laptop juga sangat banyak permainan geme-nya. Semuanya sangat melenakan hingga lupa dan tiada lagi waktu untuk membaca. Wallahu a’lam

Minggu, 07 Maret 2010

Apresiasi Pemikiran Muslim Kontemporer

Apresiasi Pemikiran Muslim Kontemporer
Di muat SKH KEDAULATAN RAKYAT, 7 MARET 2010
Peresensi Anton Prasetyo

Judul : Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer
Editor : Thohatul Choir dan Ahwan Fanani
Cetakan : I, Desember 2009
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tebal : xvi+561 Halaman

Kajian agama (Islam) pada akhir tahun 1980 dan awal awal tahun 1990-an masih berkutat pada ranah dogma. Agama Islam seakan sebuah ajaran yang tak boleh diubah meski sedikitpun. Semua harus sesuai dengan yang terdapat pada teks al-Qur’an dan al-Hadits. Proses berfikir umat Islam terkesan deduktif-analogis-qiyas.
Pola pikir semacam ini menjadikan agama Islam stagnan, tak bisa bersinggungan dengan perkembangan zaman. Kesenjangan antara teori dan praktik tak terwujud karena dengan berdasarkan teks belaka, dalam beragama tiada pijakan realitas historis, sosiologis dan antropologis. Sehingga dari sini keberadaan agama Islam seakan tak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak bisa direlevansikan dalam kehidupan kekinian.
Sementara di dunia barat, yang kini sedang berkuasa, terus mengembangkan sains. Dipastikan dengan adanya sains yang memadahi akan menjadikannya semakin siap menatap modernitas dan globalisasi. Keadaan ini menjadikan agama Islam semakin tak berdaya dalam dalam menghadapi perkembangan zaman. Keberadaan agama Islam dibandingkan dengan dunia Barat tak lagi dapat disetarakan. Bahkan agama Islam semakin tak bisa berinteraksi dengan perkembangan zaman.
Kondisi semacam inilah menjadi pukulan besar bagi (sebagian) kaum muslimin pada era paruh kedua abad ke-20. Para cendikianwan muslim terdorong untuk dapat “menyelamatkan” agama Islam dari ketertinggalannya. Para pemikir muslim pun semakin kentara, bermunculan di berbagai belahan bumi, semisal Mesir, Sudan, Aljazair, Pakistan, India, Iran, Afrika Selatan, dan juga Indonesia. Diantara mereka adalah Fazlul Rahman dari Pakistan yang memperkenalkan upaya pembaruan metodologi studi Islam.
Kemudian secara berturut-turut tokoh-tokoh cendikiawan muslim dari berbagai Negara lahir mewarnai pentas keilmuan Islam kontemporer, seperti Ali Syariati, Abdullehi Ahmad an-Naim dan gurunya Mahmud Muhammed Thaha, Hasan Hanafi, Mohammed Arkoun, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernissi, Aminah Wadud, Nasr Hamid Abu Zaid, Khaleed Abou el-Fadl, Ibrahim Abu Rabi’, Ebrahim Moosa, dan Farid Essack. (halaman. ix). Generasi muda lain diantaranya adalah Omit Safi, Jaseer Auda, Tariq Ramadlan, Farish A. Noor, dan Sa’diyya Sheikh.
Secara umum buku ini memberikan apresiasi kepada para pemikir Islam yang telah bermunculan di berbagai belahan bumi. Apresiasi berupa kajian-kajian ilmiah yang dilakukan para mahasiswa Metodologi Studi Islam (MSI) Program Doktor UIN Sunan Ampel atau di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dinamai Pemikiran Islam Kontemporer. Adapun pengampu dari para mahasiswa ini adalah Amin Abdullah yang juga Rektor UIN Sunan Kalijaga. Selamat membaca!

Rabu, 03 Maret 2010

Surat Tanda Tamat (Tidak Lulus) Belajar

Surat Tanda Tamat (Tidak Lulus) Belajar

Oleh: Anton Prasetyo
Guru Esktrakurikuler MA Nurul Ummah Yogyakarta

Dimuat KR, 4 Maret 2010

Kedaulatan Rakyat pada 27 Februari 2010 lalu menyuguhkan berita keberadaan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) bagi siswa yang tidak lulus pada Ujian Nasional (UN). Diharapkan STTB mempunyai nilai guna bagi siswa yang tak lulus UN. Siswa yang gagal UN, dengan adanya STTB bisa memiliki nilai tawar dalam melamar pekerjaan atau akan bergabung dengan beragam isntansi karena STTB yang ada diakui.
Rencana ini tentu sangat menarik perhatian, apalagi bagi siswa. Mereka tidak melulu memikirkan UN yang notabene hanya memerhatikan kecerdasan kognitif. Meskipun dalam mengerjakan UN dirinya divonis tidak lulus, karena minimnya nilai, dirinya mempunyai kesempatan untuk berkreasi dan bekerja dengan leluasa. Kesempatan berkreasi, mengembangkan ilmu pengetahuan dan pengalaman tidak sekedar di dalam lembaga pendidikan formal. Mereka bisa mendapatkan guru yang lebih mumpuni dan belajar sendiri (baca: otodidak). Bahkan tak sedikit dari generasi muda di dalam dan luar negeri meraih prestasi gemilang tingkat dunia karena belajar otodidak.
Dalam bekerja pun demikian. Tak sedikit dari para pekerja kita yang mahir dalam bekerjanya bukan karena belajarnya di sekolah formal. Banyak dari pekerja sukses yang hanya berpendidikan minim, tak lulus Sekolah Dasar atau bahkan tak berpendidikan sama sekali. Namun demikian, Karena dirinya tekun dalam berproses mendalami pekerjaan yang dilakoninya, dirinya bisa menjadi orang yang sukses dalam bekerjanya.
Sementara, kita juga tak dapat menghitung berapa juta penganggur terdidik (baca: sarjana tanpa mendapat pekerjaan), karena terlalu banyaknya. Para sarjana kita banyak yang ke sana ke mari membawa ijazah untuk melamar pekerjaan. Namun demikian dirinya tak juga mendapatkan pekerjaan yang bisa dilakoninya. Bahkan banyak instansi pekerjaan yang tidak menerimanya dengan baik, para instansi acuh dengan lamaran para lulusan perguruan tinggi ini. Bagaimanapun saat ini instansi kerja, dalam merekruit pekerja barunya, tak cukup hanya mengandalkan ijazah, namun juga kecakapan kerjanya.
Kendati demikian, keberadaan legalisasi dari pemerintah juga tak dapat dinomorduakan. Kini seluruh instansi, termasuk isntansi kerja, selain menuntut adanya kebisaan kerja, juga mensyaratkan adanya ijazah yang telah disahkan pemerintah. Artinya, seberapapun kemampuan calon pekerja, tanpa adanya ijazah akan mendapat tatapan sebelah mata dari instansi yang dilamarnya. Lebih dari itu, sebelum calon pekerja tersebut mengajukan lamaran kerjanya, dirinya sudah merasa down karena dalam banyak iklan persyaratan seorang calon pekerja harus bertitel alias mempunyai ijazah yang telah dilegalkan pemerintah.
Nah, dari sini, jika STTB yang tak lain adalah legalisasi pemerintah terhadap jerih belajar siswa nantinya benar-benar diakui, tentu akan menjadi terobosan baru bagi siswa-siswa kita yang tangguh dalam beragam kemampuan namun secara kognisi lemah. Mereka akan mendapat tempat untuk mengembangkan kreasi juga keilmuannya sehingga akan menjadi orang-orang yang unggulan dan nantinya bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk diri dan lingkungannya. Wallahu a’lam

Selasa, 02 Maret 2010

Google Translate Wahana Belajar Bahasa

Google Translate Wahana Belajar Bahasa

Dimuat KR 1 Maret 2010

Oleh: ANTON PRASETYO



Perkembangan zaman yang semakin tak terelakkan menuntut kaum muda membuka mata, mengetahui beragam informasi. Tanpa adanya informasi yang lengkap, meski mempunyai intelektual tinggi dipastikan tak dapat bersaing dengan baik. Apalagi saat ini pasar global terbuka dengan selebar-lebarnya. Siapa yang menguasai informasi, dirinya yang akan menang.

Hanya saja hingga saat ini di lingkungan kita banyak generasi muda yang ingin memperluas cakrawala ilmu pengetahuan dan informasi, tidak menguasai banyak bahasa. Padahal, benar kata pepatah, “bahasa adalah jendela dunia”. Dengan penguasaan bahasa seseorang akan dapat melahap berbagai sumber informasi (cetak dan elektronik). Banyak upaya yang telah dilakukan generasi muda untuk dapat menguasa beragam bahasa. Mereka mengkuti kursus, membeli kamus dan membeli segudang buku. Hanya saja pada kenyataannya tak memperoleh hasil yang maksimal.

Banyak alasan yang dapat diajukan kenapa para generasi muda kita tak dapat menguasai bahasa meski beragam upaya telah ditempuh. Pada dasarnya beragam upaya tesebut bisa menghantarkan mereka meraih tujuannya, mahir berbahasa, hanya saja mereka terbentur dengan banyaknya aktifitas yang meski dilaluinya. Selain belajar bahasa mereka harus kuliah, memperluas jaringan, bergaul dengan teman dan lain sebagainya. sehingga dari sini kesempatan untuk membuka-buka kamus dalam rangka mendapatkan kosa kata baru tak dapat maksimal.

Padahal tanpa adanya kosa kata yang dikuasai, tak mungkin seseorang akan dapat menguasai bahasa dengan baik. Bahkan saat dirinya menguasai struktur bahasa asing secara keseluruhan, tetap saja tak bisa menguasainya tanpa adanya kosa kata dalam benaknya. Berakar dari sinilah kosa kata dalam bahasa asing menduduki peran penting dalam mempelajari bahasa asing.

Segendang sepenarian dengan keterbatasan waktu generasi muda dalam mendapatkan kosa kata baru (baca: membuka-buka kamus), google translate bisa dijadikan penggantinya. Dengan hanya mengetikkannya kata yang diinginkan seseorang akan mendapatkan arti kata sesuai dengan bahasa yang diinginkan. Tidak hanya itu, google translate juga mampu menerjemahkan frase, kalimat, paragraf hingga satu tulisan utuh. Dari sinilah google translate akan sangat membantu para pembelajar bahasa, khususnya yang ingin mendapatkan kosa kata dengan cepat.

Kendati demikian, meski google translate dapat menerjemahkan kata hingga satu buah gagasan dalam bentuk tulisan secara cepat namun perlu diperhatikan, terjemahan yang ada tidak 100 persen benar. Dalam mengartikan kata perkata bisa saja diperoleh arti yang benar. Namun demikian ketika sudah masuk ke dalam kalimat atau yang lebih panjang darinya, hasil terjemahan kadang tidak sesuai dengan maksud teks. Sehingga dari sini google translate baik digunakan sebagai wahana mendapatkan kosa kata baru secara cepat, sehingga keterbatasan waktu yang dimiliki generasi muda tak menjadi alasan untuk tidak belajar bahasa. Wallahu a’lam

Cinta Rasul Tidak Nikah Siri

Cinta Rasul Tidak Nikah Siri

Dimuat Merapi 1 Maret 2010
ANTON PRASETYO
Penulis Risalah Kafaah fi Nikah, Koordinator Litbang LP2M Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

Mutakhir, menjelang diperingatinya milad Nabi Muhammad Saw, kita digemparkan dengan pembahasan serius terkait pidana nikah siri (juga mut’ah). Kaitan dengan dua pembahasan ini ada satu titik yang meskinya menjadi landasan utama. Perayaan Maulid Nabi yang konon pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang Gubernur Irbil Irak (1138-1193) bertujuan untuk meningkatkan kualitas kecintaan umat Islam kepada Rasulullah Saw. Sementara dalam nikah pun juga sebagai pengejawantahan kecintaan umat kepada nabi, karena mangikuti sunahnya.
Dengan kata lain, antara peringatan maulid Nabi Muhammad Saw dengan nikah adalah sama-sama ingin mencinta dan dicintai Rasulullah Saw. Ada banyak hal sehingga Rasulullah memerintahkan bahkan memberikan contoh pelaksanaan nikah. Dengan pernikahan akan menciptakan rasa kasih sayang antara suami, istri, mertua juga sanak kerabat dan tetangga atau masyarakat (baca: menjalin hubungan silaturahmi). Dengan pernikahan akan tercipta sebuah keluarga yang akan melahirkan generasi-generasi penerus perjuangan, dakwah di jalan Allah. Dengan menikah akan menjaga kehormatan diri (baca: perzinahan). Dengan pernikahan akan menjaga diri (kedua mempelai) dari fitnah. Begitu seterusnya.
Dari sinilah Nabi Muhammad Saw juga memerintahkan agar orang yang melaksanakan upacara pernikahan juga dilengkapi dengan walimatul urs (resepsi/pesta pernikahan). Walimatul urs selain sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat kekasih yang diberikan-Nya juga sebagai penyebar kabar bahwa kedua mempelai telah sah menjadi suami-istri (baca: halal untuk melakukan seluruh kegiatan dalam rumah tangga). Harapannya, dengan adanya kabar ini, di kemudian hari tidak ada fitnah di masyarakat saat keduanya melakukan aktivitas rumah tangga.
Pada masa Rasulullah Saw, upacara pernikahan tanpa adanya walimatul urs tidak banyak yang mengetahui. Hal ini karena dalam pernikahan tidak harus banyak yang tahu, selagi syarat rukunnya sudah tercukupi, hanya dengan dua orang saksi sudah dapat dilaksanakan nikah. Sehingga dari sini besar kemungkinan masyarakat luas tidak mengetahuinya. Alhasil, saat keduanya hidup dalam satu rumah dengan aktifitasnya sebagai suami istri akan dicemooh masyarakat. Bahkan keduanya dituduh berzina. Maka dari itu dengan adanya walimatul urs sangat membantu dalam menyebarkan kabar bahwa kedua mempelai telah sah dan halal menjadi suami dan istri. Dari sinilah dapat ditarik maqasidu syariah (entri point pensyariatan) adanya walimatul urs, yaitu untuk menjaga fitnah atas aktivitas suami-istri dalam berumah tangga.
Kini di Negara Indonesia ada Kantor Urusan Agama (KUA) yang memiliki tugas salah satunya adalah mencatat adanya pernikahan. Tentu ini adalah terobosan baru yang sangat terkait dengan salah satu maqasidu syariah diadakannya walimatul urs. Pasalnya, KUA memiliki manfaat yang sangat besar dalam urusan pernikahan. Dengan dicatatnya pernikahan oleh pemerintah (baca: bukan sekedar ijab dan kabul serta dua wali) sangat menguatkan ikatan perjanjian kedua mempelai dalam menikah. Catatan ini akan sangat membantu kedua mempelai untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas sebagi suami dan istri.
Dengan adanya catatan dari pemerintah, seorang suami tidak akan dengan mudah mentelantarkan istrinya. Begitu juga dengan sang istri, tidak mudah mendurhakai suaminya. Jika terjadi pentelantaran atau pendurhakaan, keduanya dapat menuntut kepada negara. Tuntutan ini akan segera diproses karena sudah menjadi kewajiban pemerintah menindak suami atau istri yang tidak bisa melaksanakan tugasnya dalam berumah tangga. Hanya saja pemerintah juga hanya bisa memproses apabila ada catatan yang jelas.
Catatan ini juga akan berguna saat kedua mempelai mendapat fitnah melakukan perzinahan atau sejenisnya. Seorang suami atau istri kadang tidak mudah membuktikan bahwa keduanya telah melakukan upacara pernikahan saat mendapat fitnah, jika dalam pernikahannya asal terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun dalam nikah yang terkait dengan orang lain hanyalah wali dari wanita dan kedua saksi. Padahal keduanya tidak mungkin akan selamanya berbaur dengan kedua mempelai. Kadang ada yang meninggal atau pindah tempat. Bahkan bisa juga yang terjadi kedua mempelai yang berpindah tempat sehingga sulit bagi keduanya menemukan para saksi dan/atau wali dari perempuan. Di sinilah fitnah tidak akan terselesaikan jika tiadanya pencatatan dari pemerintah atau sejenisnya. Mereka tidak bisa menunjukkan diri bahwa keduanya telah sah dan halal menjadi suami dan istri.
Kaitan dengan ini, upacara pernikahan hendaklah dicatatkan pada pemerintah. Nikah siri memeng dalam agama sudah sah, namum banyak madlarat yang masih perlu diperhatikan. Apalagi di negara kita, saat terjadi perselisihan, sering kali para saksi tidak lagi menjadi prioritas. Kaitan dengan nikah, catatan pemerintah dengan adanya saksi lebih diunggulkan catatan pemerintah. Saat ada fitnah kedua mempelaoi melakukan perzinahan, dengan adanya catatan dari pemerintah bahwa keduanya telah melangsungkan ijab dan kabul, permasalahan secara langsung terselesaikan. Namun demikian, saat permasalahan ini timbul dan yang ada hanya saksi dan juga wali dari perempuan yang mengatakan bahwa keduanya telah melangsungkan ijab dan kabul, masyarakat tak mudah mempercayainya.
Dan tentu Rasulullah Muhammad Saw tak mencintai hal-hal yang semacam ini. Rasulullah tentu memberikan apresiasi besar kepada pemerintah dengan ide cemerlangnya mencatat adanya pernikahan. Sehingga dirinya juga akan mencintai kepada umatnya yang melakukan pernikahan lengkap dengan melakukan walimatul urs juga pencatatan dari pemerintah. Dan bagaimana dengan kita, akankah kita mencintai rasul di hari miladnya ini? Tanpa undang-undang yang mempidana pelaku nikah siri pun, mari bersama hindari nikah siri. Toh tidak sulit mencatatkan pernikahan di pemerintah. Wallahu a’lam

cinta yang produktif....

Cinta Yang Produktif---sepotong esai,,,menyimak sepintas sekali cinta Khadijah-Aisyah---
Dari psikologi, kita belajar tentang konsep cinta produktif Erich Fromm. Ia mengemukakan bahwa untuk memperoleh kebersamaan dan kebermaknaan, orang harus menyatu dengan orang lain, tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan yang optimistik, yaitu menghubungan diri dengan orang lain melalui kerja cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Sama seperti cinta model Khadijah Aisyah. Rasulullah tak menuntut Khadijah menjadi sebelia sebelumnya, tapi kesabaran, kedewasaan dan kematangan Khadijah justru menjadi tumpuan lelah perjalanan dakwah kenabian.
Pun demikian, kita lihat pernikahan Rasulullah dengan Aisyah. Rasulullah tak pernah menuntut Aisyah menjadi seperti Khadijah. Tapi Rasulullah membebaskan Aisyah dengan masa mudanya, totalitas ekspresi keceriaan, kreativitas, dan hubungan yang sangat manja. Kerja cinta semacam ini tidak melelahkan, karena tidak ada tuntutan. Semua pihak sadar, bahwa ada keseimbangan yang harus diwujudkan.
Lantas, bagaimana pandangan Fromm tentang produktivitas dalam cinta? Fromm menjelaskan bahwa produktivitas mengisyaratkan keyakinan pada kemampuan diri, independen, aktif, berpikir positif, menerima keberadaan diri dan orang lain apa adanya. Kreativitas, di bilah yang lain dikatakan sebagai kapasitas kreatif mencari dunia baru untuk ditaklukan, memanfaatkan segala sesuatu untuk terus menerus dapat memberi keuntungan bagi diri sendiri dan orang lain. Seperti juga cinta kenabian, ia menjadi ekspresi yang sangat sosial. Cinta meluas, tak hanya dalam kawasan romantis saja, tapi cinta yang produktif secara sosial, cinta yang dapat dirasakan masyarakat.
Dalam kenyataannya, cinta produktif adalah iklim cinta kerjasama, kejujuran, dan sikap yang rasional. Di wilayah lain, ia adalah kepribadian pedagang yang memperoleh keuntungan tanpa menrugikan orang lain. Erich Fromm, secara tidak sengaja menemukan wujud eksistensi nyata dalam pribadi Rasulullah SAW, sang fokus konsep Islam berkembang. Dalam kehidupan yang bersemangat, cinta produktif juga mencintai kehidupan dan sangat memperdulikan kesejahteraan orang lain. Ia tidak mengambil jarak, selalu bersama dengan orang lain.
Lagi-lagi, kita akan mendapati sosok yang dimaksud Fromm adalah Rasulullas Sallallahu ’alaihi wassalam. Kepedulian terhadap umat dam fakir miskin tak disangsikan lagi, kasih sayang dan kedekatan dengan sahabat dan fakir miskin, tak diragukan lagi. Bahkan Rasulullah sempat menanyakan seorang yang lama tidak nampak di barisan Shalat, dan ternyata sahabat itu meninggal, maka nabi menyesal dan mendatangi makamnya untuk menyalatkan. Cinta produktif, mewujud dalam akhlak tuntunan Rasulullah.
Cinta yang produktif; siapkah mencintai???