Senin, 25 Juli 2011

Sadranan yang Tidak Sadranis

Oleh : Anton Prasetyo SSos I, Pemerhati Sosial, tinggal di Yogyakarta.
Dipublikasikan KEDAULATAN RAKYAT 15/7/2011

Ritus nyadran merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Inti dari ritual tahunan ini adalah sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Maka bukan tidak mungkin jika nyadran berpola ritual yang mencampurkan nilai luhur budaya lokal (baca: Jawa) dan nilai-nilai ajaran agama Islam. Berakar dari sini, nyadran sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental Islami.
Ritual yang dilakukan pada upacara nyadran tak jauh bedanya dengan ziarah kubur. Keduanya merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Sehingga dari sini nyadran memiliki hubungan erat antara manusia yang masih hidup dengan para leluhur (orang-orang yang sudah mendahului wafat), sesama dan Tuhan Yang Mahakuasa. Hanya saja ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja, sementara nyadran tetapkan pada bulan Sya”ban atau Ruwah.
Selain melakukan ziarah kubur, tradisi yang bermula dari kebudayaan Hindu-Buddha dan animisme yang oleh Wali Sanga telah diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam ini juga dilengkapi dengan melaksanakan bersih-bersih makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Sebagai wujud transformasi sosial, budaya, dan keagamaan, nyadran juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi keluarga.
Penelitian C Geertz (1981) mengenai pola keberagamaan masyarakat Jawa, menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri dan priyayi. Artinya, dari ketiga komponen tersebut merupakan sebuah akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Sehingga dari sini pola interaksi antara budaya lokal (Jawa) dan nilai Islam menjadikan Islam yang plural.
Singkatnya, dilihat dari beragam kacamata penilaian (baca: sosial, budaya dan religi), nyadran memiliki posisi yang cukup tinggi. Ketiganya tidak ada yang menyalahkan keberadaan tradisi nyadran. Bahkan dengan melestarikan tradisi nyadran berarti menjaga dan/atau mengamalkan ‘ajaran’ ketiga komponen tersebut dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa kearifan lokal yang penuh dengan nilai-nilai luhur ini semakin lama semakin banyak yang mempermasalahkan sehingga jika hal ini tidak bisa dijawab dengan baik, tradisi bernilai local wisdom ini akan punah digantikan dengan tradisi manca yang jauh tidak memiliki nilai luhur.
Menariknya, persoalan betapa nyadran yang notabene sebagai bentuk kreasi ibadah sebagian umat Islam ini yang berusaha memusnahkan adalah umat Islam sendiri. Di saat saudaranya sedang melaksanakan ibadah khusyu (baca: nyadran), terdapat kaum Muslimin lain yang melarang dan memaki ritual tersebut dikarenakan dirinya berpendapat bahwa nyadran adalah perbuatan syirik.
Alasan mengapa nyadran dikatakan sebagai perbuatan syirik adalah karena dalam nyadran identik dengan menduakan Tuhan. Saat melakukan ritual nyadran, para peserta mengunjungi makam-makam leluhur dan orang-orang yang berpengaruh besar dalam menyiarkan agama Islam. Di sana mereka mengadakan doa yang dipimpin langsung oleh mbah kaum. Dari ritual inilah para pelaksana nyadran dapat dikata mensyirikkan Tuhan. Apalagi saat para jamaah sadranan mengeluarkan makanan untuk sesaji, semakin menguatkan bahwa ritual nyadran adalah sebuah tradisi yang secara agama dapat dikatakan syirik.
Tidak Syirik
Kendati demikian, iyakah untuk mengatakan bahwa nyadran adalah ritual syirik cukup dengan melihat cover-nya belaka? Tentu tak bisa dibenarkan saat seseorang beriman menghukumi saudaranya cukup melihat dhahir belaka. Dalam kaidah fiqh jelas diterangkan ‘al umuru bi maqosidiha/Segala sesuatu itu tergantung tujuannya’, dengan artian sah atau tidaknya suatu perkara itu tergantung pada niat atau maksud pelakunya. Hal senada juga pernah disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam hadits masyhur-nya; ‘Innamal a’malu binniyah wa innama likulllimriin ma nawa/segala bentuk amal perbuatan tergantung pada niat dan segala perkara tergantung pada niatnya pula’.
Dari kedua dasar tersebut di atas, ritual nyadran yang bernilai sosial-keagamaan tidak dapat dengan mudah dimentahkan dengan mengatakan bahwa tradisi luhur ini adalah sebuah ritual syirik. Ketika para pelaksana ritual nyadran termasuk mbah kaum sebagai imamnya memiliki niatan mulia; nyadran dijadikan washilah (sarana) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, penghormatan kepada orang-orang yang telah berjasa kepada agama sekaligus melestarikan tradisi daerah yang sarat dengan nilai-nilai luhur, dipastikan ritual nyadran tidak lagi bernilai syirik, bahkan menjadi ibadah yang sangat besar pahalanya. Belum lagi saat nyadran diniatkan sebagai wahana penyambung tali persaudaraan, wahana saling bersedekah dan semacamnya, tentu akan memiliki nilai plus tersendiri.
Yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama, utama para dai adalah bagaimana mengupayakan para jamaah sadranan memiliki niatan lurus sebagaimana tersebut di atas. Mengupayakan niatan lurus ini menjadi penting dikarenakan banyak masyarakat abangan dalam melaksanakan sadranan tidak memiliki niatan lurus semisal memohon kepada leluhur agar rezekinya dilancarkan, membuat sesaji dengan memubadzirkan makanan dan sejenisnya. Dengan niatan keliru seperti inilah mereka masuk ke perangkap syirik. Dan niatan salah seperti ini, meski terlihat menjalankan upacara sadranan namun kenyataannya tidak bernilai sadranis. Wallahu a’lam. q - g. (3161-2011)

Selasa, 01 Februari 2011

Buku dan Ajang Politik

Anton Prasetyo
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 01 Februari 2011

Kehadiran buku dalam dunia pendidikan meski disambut positif. Buku adalah satu jendela ilmu yang belum terkalahkan. Bahkan dibandingkan dengan internet, buku tetap memiliki daya saing tersendiri. Dengan adanya buku, para pencari ilmu kita akan mendapatkan wawasan dan intelektual sebagaimana yang dicita-citakan.
Dalam pada itu menjadi tak heran saat Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr Hermawan Sulistyo mengatakan pada akhir Januari 2011 ini mengatakan bahwa sejelek dan sesalah apa pun keberadaan buku, masih lebih baik daripada tidak ada buku. Anak-anak didik kita memang amat butuh dan haus akan buku.
Hanya saja, saat buku menjadi media politik praktis, meski menjadi perhatian bersama. Terlebih buku-buku tersebut bukan sekedar beredar di khalayak umum, melankan sudah masuk ke dalam wadah pendidikan nasional kita. Sekolah-sekolah menjadi ajang perebutan politik praktis.
Mutakhir kita disibukkan dengan beredarnya buku-buku bertemakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak dini, buku ini sudah menimbulkan polemic. Terlebih keberadaannya dimaksudkan sebagai pengayaan bacaan siswa SMP, sebagaimana di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Sehingga dari sini terdapat sejumlah pihak yang menuding penerbitan buku SBY ini mencerminkan upaya pencitraan sekaligus politisasi bidang pendidikan seperti era Orde Baru.
Melihat realita yang terjadi semacam ini, terlepas niatan pihak SBY benar-benar menjadikan sekolah sebagai ajang politik ataupun tidak, dunia pedidikan meski melakukan langkah pasti guna menyelamatkan anak bangsa. Jangan sampai para calon pemikul kekuasaan ini semanjak awal sudah tercekiki dan dicekoki dengan politik praktis. Mereka harus suci dari beragam kepentingan. Para siswa kita meski tumbuh menjadi generasi muda yang unggul sehingga bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, nusa, bangsa, dan agama.
Terkait dengan keberadaan buku SBY, langkah yang meski dulakukan sivitas pendidikan kita adalah, menyaring buku-buku yang beredar di sekolah. Jangan sampai para siswa terkena racun politik hanya karena kesalahan pihak dunia pendidikan dalam memberikan fasilitas buku. Buku-buku gratis (free) memang sekilas menggiurkan, namun yang meski dipertimbangkan adalah akibatnya.
Terkait dengan para siswa kita meski membaca buku sebanyak-banyaknya, bukan berarti mereka dilepaskan sehingga mengonsumsi segala macam buku yang ada. Diantara siswa kita ada yang memiliki filter kuat sehingga bacaan yang ada hanya dijadikan bahan wawasan, namun juga ada yang langsung dijadikan dasar hidupnya. Maka dari itu, secara keseluruhan, penyaringan buku di lingkungan sekolah meski menjadi perhatian. Wallahu a’lam.
Penulis, Pustakawan PP Nurul Ummah Yogyakarta

Memberantas Kemiskinan di Pedesaan

Oleh Anton Prasetyo

Dimuat Suara Karya, 31 Januari 201

Kemiskinan di seluruh pelosok Indonesia tak lagi dapat hindarkan. Di desa. lapangan pekerjaan tak dapat menampung tumpukan tenaga kerja yang ada. Salah satu jalan yang menjadi fenomena sekaligus pilihan bagi warga desa adalah melakukan urbanisasi. Meskipun jalan berpindah dari desa ke kota ini tak ubahnya dengan pemindahan tempat kantong-kantong kemiskinan, tetap saja urbanisasi menjadi pilihan utama.
Betapa ritual urban yang sudah mentradisi ini sering mengalami kegagalan, namun tetap saja warga menjadikan perpindahan ini sebagai satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib hidupnya. Kepadatan Kota Jakarta yang melebihi ambang batas tidak pernah dirisaukan. Yang terbayang dalam benak para warga urban adalah, bahwa perputaran rupiah di kota begitu cepatnya sehingga dirinya berharap bisa 'kecipratan' uang tersebut.
Realita semacam ini memang tidak bisa dibantahkan begitu saja. Apalagi, hingga kini warga desa selalu mengadakan 'puasa massal' sepanjang zaman karena tiadanya harta yang bisa dijadikan bekal untuk kesejahteraan. Mereka harus puasa dari makan dan minum yang layak, puasa dari berpaikaian indah, puasa dari berkendaraan mewah, puasa dari tempat tinggal yang megah dan lain sebagainya.
Jika saja puasa yang harus dilakukan ini masih dikatakan dalam batas kewajaran, dalam arti mereka bisa makan, berpakaian dan tempat tinggal yang layak, hal itu tidak jadi masalah. Namun demikian, bukan kondisi layak yang dijalani warga desa ini. Dalam pemenuhan kebutuhan primer saja, mereka masih sangat terkatung-katung.
Lihatlah, betapa banyak di antara warga desa yang dalam mengonsumsi makanan, tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk bisa makan 2 (dua) kali sehari. Kalau pun masih bisa makan sekali sehari, itu pun dengan kualitas makanan yang ada sangat memrihatinkan.
Kandungan gizi yang meski dibutuhkan tubuh, tidak pernah tercukupi sesuai dengan yang selama ini banyak diteorikan. Rumah-rumah warga masih banyak yang terbuat dari kayu dengan dinding anyaman bambu (gedek) dengan kondisi yang sangat memrihatinkan. Kondisi ini pun masih sedikit layak dibandingkan dengan masih banyaknya warga yang tidak mempunyai rumah hunian dan hanya bisa hidup menggelandang.
Tetap Tertindas

Betapapun kepergian warga desa ke kota memiliki tujuan mulia lengkap dan untuk menjaga prestise diri. Namun, tanpa memiliki bekal yang cukup, mereka cenderung akan terkatung-katung setelah pindah dari desa ke kota. Bagaimana tidak, diteorikan atau tidak, secara alamiah, dengan semakin menumpuknya pekerjaan, tanpa adanya imbangan lapangan pekerjaan, dipastikan akan banyak pekerja yang harus menganggur. Dalam hal ini, warga desa-lah yang nomor satu akan disepak dari lapangan pekerjaan yang ada.
Dalam filsafat Survival of Yhe Fittest diterangkan bahwa Charles Darwin dengan sangat baik menggambarkannya dalam satu hipotesis sederhana: hanya ada satu hukum umum yang mengarah pada perbaikan seluruh makhluk hidup, yakni berkembang biak, buatlah variasi, biarkan yang paling kuat hidup dan yang paling lemah mati. (Ahmad Rafsanjani: 2010)
Dari hipotesa Darwin inilah akan tercermin betapa warga desa saat mencari lapangan pekerjaan akan menjadi objek 'yang paling lemah mati'. Dirunut dari awal niatan berurban saja, warga desa sudah kentara sebagai orang-orang yang lemah. Bukan sekedar lemah dari sisi ekonomi belaka, melainkan juga lemah dalam segala hal, termasuk pendidikan dan pengalaman.
Bagaimana mungkin warga desa akan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam hal keilmuan jika pendidikan mereka umumnya lulusan SD. Bisa dibayangkan bila mereka langsung diterjunkan ke kota untuk mencari nafkah, bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga sudah ditunggu sanak keluarga untuk bisa menikmatinya. Mereka juga tidak banyak berkelana untuk mencari pengalam sehingga bisa menjadi bekal hidupnya.
Pepatah experience is the best teacher (pengalaman adalah guru yang terbaik), yang sering terdengar di telinga kita, tak pernah menjadi perhatian warga desa. Mereka dalam melakukan urban ke kota hanya berbekal nekat dengan 'impian-impian manis', dapat memperbaiki perekonomian diri dan keluarga. Namun begitu, pada lini lainnya, mereka melupakan prasyarat yang meski dicukupi agar penggapaian impian mulianya bisa terlaksana dengan mulus.
Prasyarat ilmu pengetahuan dan/atau pengalaman yang tiada dimiliki warga desa ini mengakibatkan mereka harus disingkirkan dari dunia kerja. Mereka dianggap kalah bersaing dengan orang-orang berpendidikan tinggi lengkap dengan pengalaman-pengalamannya. Orang-orang yang mampu bersaing inilah yang jika dikompromikan dengan hipotesa Darwin sebagai orang-orang 'yang paling kuat hidup'.
Berurat akar dari sinilah, tak mustahil jika banyak anak dalam melakukan urbanisasi, bukannya menjadikan ringan beban ekonomi keluarga, mereka malah menambah beban berat ekonomi keluarga. Sering kali orang tua harus memberikan ongkos berangkat anaknya yang akan bekerja ke kota dengan harapan saat pulang akan membawa uang yang melimpah, namun kenyataannya anak tersebut tidak mendapatkan pekerjaan. Alhasil, orang tualah yang harus pontang-panting, gali lobang-tutup lobang, pinjam uang ke sana ke mari hanya sekedar untuk memulangkan kembali anaknya dari kota.
Bagaimanapun urbanisasi bukanlah satu-satunya jalan untuk mengentaskan kemiskinan warga desa. Warga desa yang melakukan urbansisasi ke kota akan mencapai kesuksesan dan akan mampu mengubah perekonomian diri dan keluarganya. Sebaliknya, warga desa yang keberangkatannya tanpa modal ilmu dan pengalaman, mereka tidak akan mampu bersaing dengan para pekerja lain. Boleh jadi mereka dipastikan bisa pulang dengan tangan hampa, lengkap dengan catatan hutang.
Di antara solusi meyakinkan untuk mengentaskan kemiskinan warga desa, bukanlah dengan cara-cara instant semisal urbanisasi. Terlebih, hal yang paling penting adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan ilmu pengetahuan serta pengalaman kepada mereka. Dengan demikian, ke depan bukan sekedar mereka mampu bersaing dalam mencari pekerjaan, namun juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang ada di lingkungannya. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Staf pengajar Pondok Pesantren Nurul Ummah,
alumnus UMY dan UIN Yogyakarta

Selasa, 18 Januari 2011

Revitalisasi Wisata Yogya

Revitalisasi Wisata Yogya

opini KR, 06/01/2011 08:16:10 Angin segar wisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pascaletusan Gunung Merapi mulai terasakan. Bekas erupsi perut bumi yang meluluhlantakkan kisaran Gunung Merapi menjadi satu ikon wisata tersendiri. Banyak masyarakat berkunjung untuk melihat langsung bekas sapuan ‘wedhus gembel’ Gunung Merapi. Menjadi kemenarikan tersendiri adalah saat diteliti ternyata desa wisata yang selamat jauh dari perkiraan awal. Diperkirakan dengan adanya erupsi Merapi yang dahsyat tersebut mengakibatkan kerusakan desa wisata yang luas pula. Namun demikian, sebagaimana yang diungkapkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, Untoro Budiharjo, dari 38 desa wisata di wilayah Sleman, hanya 3 desa wisata yang hancur. Yang lainnya adalah 14 desa wisata rusak ringan hingga sedang, serta sisanya selamat dan utuh. Artinya 35 desa wisata dari 38 yang ada selamat dari letusan Gunung Merapi. Menjadi sumber energi tersendiri bagi insan wisata saat melihat realita menggembirakan ini. Keadaan ini mengindikasikan betapa wisata DIY dimungkinkan dapat dibenahi dalam waktu yang relatif singkat. Belum lagi saat melihat kepercayaan wisatawan tentunya akan dengan mudah dibangun. Wisatawan dipastikan telah kangen untuk dapat berkunjung ke DIY karena memang nama DIY identik dengan kota pariwisata. Kepopularitasan nama DIY sebagai sentral pariwisata tak hanya dirasakan oleh orang-orang di seluruh pelosok Indonesia namun seluruh belahan dunia. Bagaimana tidak, objek wisata Candi Borobudur merupakan salah satu di antara lima (sekarang tujuh) tempat yang dianggap ajaib di dunia. Ditambah lagi dengan keberadaan pasar Malioboro lengkap dengan kekhasan Budaya Jawa yang ada di sekelilingnya. Juga masih ada Candi Prambanan, Monumen Jogja Kembali, Pantai Parangtritis, Baron, Kukup dan lain sebagainya. Belum lagi saat mengingat Tanam Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang juga telah diakui keberadaannya oleh dunia. Kendati harapan DIY dapat segera bangkit dalam sektor kepariwisataannya didukung dengan potensi-potensi yang ada, namun tak semudah membalikkannya telapak tangan untuk dapat merealisasikannya. Banyak rintangan yang mesti dihadapi DIY untuk memulihkan dan/ atau meningkatkan keistimewaan sektor wisata yang ada. Di antara rintangan yang dapat menghambat pemulihan sektor wisata DIY adalah ketidaksiapan pemerintah dalam mengucurkan dana untuk merevitalisasi komponen-komponen wisata yang rusak. Hal ini menjadi wajar karena pemerintah, baik daerah maupun pusat memiliki banyak tanggungan yang meski diselesaikan. Pemenuhan kebutuhan primer para korban bencana Gunung Merapi adalah salah satu dari pertimbangan untuk menomorduakan pengucuran dana yang diperuntukkan pada bidang kepariwisataan. Pun begitu, pengucuran dana untuk sektor kepariwisataan tentu akan dapat diupayakan, karena pemerintahan kita sudah membagi-bagi tugas termasuk dananya. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kementerian yang mengurusi khusus tentang wisata. Dari kementerian inilah dipastikan sudah ada jatah dana untuk revitalisasi, meski jumlahnya tak tentu sesuai dengan yang dibutuhkan. Di samping itu, menjadi pertimbangan lain adalah, faktor pariwisata adalah salah satu ikon terpenting bagi pemerintahan dan warga setempat. Dengan kepariwisataan berjalan dengan baik, maka omzet pemerintah juga akan terdongkrak. Begitu pula dengan warga sekitar, mereka akan dapat dengan mudah membuat lapangan pekerjaan. Mulai dari tukang ojek, penjual kacang godok hingga persewaan hotel, semua akan dapat dengan mudah diciptakan dan mendapat hasil nyata. Selanjutnya, seluruh elemen wisata, baik pemerintah maupun warga harus memiliki semangat dan gerak untuk segera mengembalikan kota DIY sebagai kota wisata yang memuaskan dan nyaman dikunjungi. Di samping tempat dan jasa wisata yang ada, tak kalah pentingnya adalah setiap individu atau kelompok yang memiliki hubungan dengan kepariwisataan harus segera melaksanakan aktivitas hariannya. Selama ini banyak hotel-hotel yang tutup karena dampak erupsi gunung Merapi. Banyak juga pedagang makanan ringan, souvenir dan lainnya yang memilih mengistirahatkan diri dari pada menjajakan dagangannya. Hal-hal kecil semacam ini kelihatannya sangat simpel dan sepele. Namun demikian kesimpelannya tidaklah dapat di-sepele-kan dengan begitu saja. Hal-hal remeh semacam ini memiliki pengaruh yang sangat dahsyat bagi para wisatawan. Bagaimana tidak, seorang wisatawan datang ke DIY tentu memerlukan tempat penginapan, makanan ringan, souvenir dan lain sebagainya. Jika toh mereka tidak menginap di hotel, tidak membeli makanan atau souvenir, mereka akan merasakan kenyamanan berwisata di DIY. Tak kalah pentingnya yang lain adalah pelestarian budaya-budaya yang selama ini banyak dilupakan generasi muda. Kiranya wisata budaya tidaklah begitu mengada-ada bagi DIY. Banyak budaya yang dapat dipelajari dan dipertontonkan lagi. Tentu dengan kenyataan semacam ini, tidak menunggu waktu lama, DIY akan segera bangkit. Wallahu a’lam. q-g-(2250-2011). *) Anton Prasetyo SSos I, pengamat sosial dan pariwisata, tinggal di Yogyakarta.