Senin, 02 April 2012

Zina

tahukah anda siapa Ma`iz?
ya, Ma'iz bin Malik,
seorang sahabat rasul
”Ya Rasulullah, bersihkanlah saya dari dosa yang telah saya lakukan.”
itulah perkataannya kepada rasul
Rasul pun menjawab:
“Celaka engkau!
Pulanglah!
Mintalah ampun kepada Allah swt.
dan bertaubatlah kepada-Nya!”
namun Ma`iz tidak juga pulang,
dirinya berkata hingga tiga kali
rasul pun menjawab dengan jawaban sama
untuk yang keempatkalinya ditanya, rasul pun ganti bertanya:
”Dalam perkara apa?”
ma'iz menjawab:
”Dari perbuatan zina”
Rasulullah bertanya kepada sahabat lain:
“Apakah ia gila?
Apa ia mabuk khamr?”
dan tidaklah dia gila
tidaklah dia mabuk
dan dari sini rasul memerintahkan para sahabat untuk merajam Ma'iz
matilah ma'iz

tahukah anda siapa wanita dari daerah Ghamid?
seorang kekasih Ma'iz
dengan perut membuncit karena hamil dirinya mengadu pada rasul
aduannya sama dengan Ma'iz
dirinya berbuat zina bersama Ma'iz
rasul pun membiarkan wanita tersebut hidup hingga melahirkan
sesudah melahirkan dirinya kembali lagi kepada rasul
rasulpun tidak berbuat apapun
hingga bayi yang dilahirkan sudah ada yang mengurus,
sanggup memberikan air susu padanya,
rasul baru memerintahkan sahabat untuk merajamnya
dan tewaslah wanita ini

dan tahukan siapa anda?
lebih mulia manakah anda dengan Ma'iz dan kekasihnya?
keduanya melakukan dosa besar,
tiket maghfirah diambilnya
dirinya memilih disucikan dengan rajam hingga mati
dengan harapan mendapat ridla dari Allah,
padahal sebenarnya tiada yang tahu perbuatan ini
semua dilakukan karena rasa bersalah,
dan rasa takutnya kepada Allah
lebih baik meninggalkan dunia beserta isinya
demi penebusan dosa
dari pada survival,
hidup di dunia dengan bayang-bayang petaka di akhirat

(Anton Prasetyo, 3 April 2012)

Lepas Iman

Masihkah kita mengaku beriman?
Setiap hari kita membiarkan tetangga kesusahan
Kita enak-enakan makan berlebihan,
tetangga dalam sehari tak pasti mendapati nasi
Padalah siapa saja beriman meskinya berbaik pada tetangga

Masihkah kita mengaku beriman?
Saat yang datang bertamu orang-orang berkantong tebal,
Mereka akan membantu,
kita sambut mereka dengan riang ceria
Segala suguhan kita hidangkan,
bahkan yang tidak pernah ada pun diada-adakan
sementara,
saat yang datang orang miskin,
pengemis,
sebelum datang pun kita sudah buru-buru kunci pintu
jangan sampai mereka bertamu kepada kita
padahal syarat kita beriman adalah memuliakan tamu,
tentu bukan pilih-pilih,
mana tamu yang berkantong tebal atau tipis

Masihkah kita mengaku beriman?
opini publik selalu kita gencarkan
kata-kata terus kita gencarkan
kita salahkan pemerintah,
kita salahkan guru,
kita salahkan tetangga,
kita salahkan rakyat,
sementara diri tidak pernah kita introspeksi
padahal dalam beriman kita meski berkata baik,
jika tidak, mending kita diam

(Anton Prasetyo, 2 April 2012)

Minggu, 01 April 2012

Makna Ibadah

Ibadah
bukan Tuhan yang membutuhkan
Ibadah,
jangan engkau banggakan
ibadah
jangan engkau tawarkan

saat Tuhanmu menjanjikan lipatan sepuluh kali lipat atas sedekahmu
jangan engkau menagih janji
jika engkau menagih janji
maka sama halnya engkau bertransaksi kepada-Nya
engkau seakan memiliki kesamaan derajat kepada-Nya

bak orang barter barang
ketika satu orang memberikan barang
maka dirinya juga meminta barang yang dijanjikan sebagai ganti

namun,
dalam beribadah, engkau meski ingat
semua adalah untuk mencapai keridlaan-Nya
utuk mencapai kasih sayang-Nya
maka ikhlaslah

lihatlah perumpamaan dalam keluarga
dalam sebuah keluarga ada orang tua dan anak
orang tua sering menjanjikan sesuatu kepada anaknya
saat anak juara satu di sekolah, akan diajak ke taman pintar

di sini bukan berarti nilai juara satu anak sama dengan wisata taman pintar
ini semua adalah kasih sayang orang tua kepada anak yang berbakti

ketika orang tua sudah berjanji,
saat seorang anak yang ikhlas belajar,
rajin belajar hingga juara satu di sekolahnya,
pasti dirinya akan diajak ke taman pintar
bahkan tempat-tempat lain, karena kebanggaannya kepada anaknya
namun begitu seorang harus ikhlas,
tidak selalu menuntut orang tuanya untuk memberinya hadiah
jika anak selalu menuntut, berarti dirinya tidak ikhlas
bagaimanapun yang diharapkan orang tua adalah agar anaknya rajin belajar
janji mengajak ke taman pintar hanyalah motivasi,
bukan tujuan

begitulah dalam ibadah
janji-janji Tuhan atas balasan ibadah hanyalah motivator belaka
ketika hamba beribadah dengan ikhlas tentu Allah akan sayang kepada hamba tersebut
dan dengan kasih sayang-Nya, bukan hanya yang dijanjikan yang diberikan,
namun segala kenikmatan yang lainnya pun akan diberikan
sehingga dari sini, alasan apakah untuk tidak beribadah dengan ikhlas?
masihkah kita beribadah hanya karena ingin lipatan sepuluh kali kenikmatan di dunia?
bukankah dengan kasih sayang-Nya, segala kenikmatan akan diberikan
bukan hanya di dunia,
namun juga hingga akhirat

(Anton Prasetyo, 2 April 2012)

Syukur dan Kufur

kita mengeluh karena merasa rizki seret
padahal keluhan kita hanya menjemput adzab syadidNya
kita lupa, betapa dengan syukur,
Dia kan menambah rizki
dan dengan syukur hati kita akan bahagia
maka kenapa kita tidak bersyukur?
bukankah dengan syukur kita akan bahagia?
bukankah dengan syukur kita akan ditambah rizkinya?
dan kenapa kita malah kufur?
bukankah dengan kufur hanya menjadikah hati hancur?
bukankah dengan kufur hanya akan menambah adzab-Nya?
(Anton Prasetyo, 2 April 2012)

Senin, 25 Juli 2011

Sadranan yang Tidak Sadranis

Oleh : Anton Prasetyo SSos I, Pemerhati Sosial, tinggal di Yogyakarta.
Dipublikasikan KEDAULATAN RAKYAT 15/7/2011

Ritus nyadran merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Inti dari ritual tahunan ini adalah sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Maka bukan tidak mungkin jika nyadran berpola ritual yang mencampurkan nilai luhur budaya lokal (baca: Jawa) dan nilai-nilai ajaran agama Islam. Berakar dari sini, nyadran sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental Islami.
Ritual yang dilakukan pada upacara nyadran tak jauh bedanya dengan ziarah kubur. Keduanya merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Sehingga dari sini nyadran memiliki hubungan erat antara manusia yang masih hidup dengan para leluhur (orang-orang yang sudah mendahului wafat), sesama dan Tuhan Yang Mahakuasa. Hanya saja ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja, sementara nyadran tetapkan pada bulan Sya”ban atau Ruwah.
Selain melakukan ziarah kubur, tradisi yang bermula dari kebudayaan Hindu-Buddha dan animisme yang oleh Wali Sanga telah diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam ini juga dilengkapi dengan melaksanakan bersih-bersih makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Sebagai wujud transformasi sosial, budaya, dan keagamaan, nyadran juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi keluarga.
Penelitian C Geertz (1981) mengenai pola keberagamaan masyarakat Jawa, menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri dan priyayi. Artinya, dari ketiga komponen tersebut merupakan sebuah akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Sehingga dari sini pola interaksi antara budaya lokal (Jawa) dan nilai Islam menjadikan Islam yang plural.
Singkatnya, dilihat dari beragam kacamata penilaian (baca: sosial, budaya dan religi), nyadran memiliki posisi yang cukup tinggi. Ketiganya tidak ada yang menyalahkan keberadaan tradisi nyadran. Bahkan dengan melestarikan tradisi nyadran berarti menjaga dan/atau mengamalkan ‘ajaran’ ketiga komponen tersebut dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa kearifan lokal yang penuh dengan nilai-nilai luhur ini semakin lama semakin banyak yang mempermasalahkan sehingga jika hal ini tidak bisa dijawab dengan baik, tradisi bernilai local wisdom ini akan punah digantikan dengan tradisi manca yang jauh tidak memiliki nilai luhur.
Menariknya, persoalan betapa nyadran yang notabene sebagai bentuk kreasi ibadah sebagian umat Islam ini yang berusaha memusnahkan adalah umat Islam sendiri. Di saat saudaranya sedang melaksanakan ibadah khusyu (baca: nyadran), terdapat kaum Muslimin lain yang melarang dan memaki ritual tersebut dikarenakan dirinya berpendapat bahwa nyadran adalah perbuatan syirik.
Alasan mengapa nyadran dikatakan sebagai perbuatan syirik adalah karena dalam nyadran identik dengan menduakan Tuhan. Saat melakukan ritual nyadran, para peserta mengunjungi makam-makam leluhur dan orang-orang yang berpengaruh besar dalam menyiarkan agama Islam. Di sana mereka mengadakan doa yang dipimpin langsung oleh mbah kaum. Dari ritual inilah para pelaksana nyadran dapat dikata mensyirikkan Tuhan. Apalagi saat para jamaah sadranan mengeluarkan makanan untuk sesaji, semakin menguatkan bahwa ritual nyadran adalah sebuah tradisi yang secara agama dapat dikatakan syirik.
Tidak Syirik
Kendati demikian, iyakah untuk mengatakan bahwa nyadran adalah ritual syirik cukup dengan melihat cover-nya belaka? Tentu tak bisa dibenarkan saat seseorang beriman menghukumi saudaranya cukup melihat dhahir belaka. Dalam kaidah fiqh jelas diterangkan ‘al umuru bi maqosidiha/Segala sesuatu itu tergantung tujuannya’, dengan artian sah atau tidaknya suatu perkara itu tergantung pada niat atau maksud pelakunya. Hal senada juga pernah disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam hadits masyhur-nya; ‘Innamal a’malu binniyah wa innama likulllimriin ma nawa/segala bentuk amal perbuatan tergantung pada niat dan segala perkara tergantung pada niatnya pula’.
Dari kedua dasar tersebut di atas, ritual nyadran yang bernilai sosial-keagamaan tidak dapat dengan mudah dimentahkan dengan mengatakan bahwa tradisi luhur ini adalah sebuah ritual syirik. Ketika para pelaksana ritual nyadran termasuk mbah kaum sebagai imamnya memiliki niatan mulia; nyadran dijadikan washilah (sarana) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, penghormatan kepada orang-orang yang telah berjasa kepada agama sekaligus melestarikan tradisi daerah yang sarat dengan nilai-nilai luhur, dipastikan ritual nyadran tidak lagi bernilai syirik, bahkan menjadi ibadah yang sangat besar pahalanya. Belum lagi saat nyadran diniatkan sebagai wahana penyambung tali persaudaraan, wahana saling bersedekah dan semacamnya, tentu akan memiliki nilai plus tersendiri.
Yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama, utama para dai adalah bagaimana mengupayakan para jamaah sadranan memiliki niatan lurus sebagaimana tersebut di atas. Mengupayakan niatan lurus ini menjadi penting dikarenakan banyak masyarakat abangan dalam melaksanakan sadranan tidak memiliki niatan lurus semisal memohon kepada leluhur agar rezekinya dilancarkan, membuat sesaji dengan memubadzirkan makanan dan sejenisnya. Dengan niatan keliru seperti inilah mereka masuk ke perangkap syirik. Dan niatan salah seperti ini, meski terlihat menjalankan upacara sadranan namun kenyataannya tidak bernilai sadranis. Wallahu a’lam. q - g. (3161-2011)

Selasa, 01 Februari 2011

Buku dan Ajang Politik

Anton Prasetyo
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 01 Februari 2011

Kehadiran buku dalam dunia pendidikan meski disambut positif. Buku adalah satu jendela ilmu yang belum terkalahkan. Bahkan dibandingkan dengan internet, buku tetap memiliki daya saing tersendiri. Dengan adanya buku, para pencari ilmu kita akan mendapatkan wawasan dan intelektual sebagaimana yang dicita-citakan.
Dalam pada itu menjadi tak heran saat Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr Hermawan Sulistyo mengatakan pada akhir Januari 2011 ini mengatakan bahwa sejelek dan sesalah apa pun keberadaan buku, masih lebih baik daripada tidak ada buku. Anak-anak didik kita memang amat butuh dan haus akan buku.
Hanya saja, saat buku menjadi media politik praktis, meski menjadi perhatian bersama. Terlebih buku-buku tersebut bukan sekedar beredar di khalayak umum, melankan sudah masuk ke dalam wadah pendidikan nasional kita. Sekolah-sekolah menjadi ajang perebutan politik praktis.
Mutakhir kita disibukkan dengan beredarnya buku-buku bertemakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak dini, buku ini sudah menimbulkan polemic. Terlebih keberadaannya dimaksudkan sebagai pengayaan bacaan siswa SMP, sebagaimana di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Sehingga dari sini terdapat sejumlah pihak yang menuding penerbitan buku SBY ini mencerminkan upaya pencitraan sekaligus politisasi bidang pendidikan seperti era Orde Baru.
Melihat realita yang terjadi semacam ini, terlepas niatan pihak SBY benar-benar menjadikan sekolah sebagai ajang politik ataupun tidak, dunia pedidikan meski melakukan langkah pasti guna menyelamatkan anak bangsa. Jangan sampai para calon pemikul kekuasaan ini semanjak awal sudah tercekiki dan dicekoki dengan politik praktis. Mereka harus suci dari beragam kepentingan. Para siswa kita meski tumbuh menjadi generasi muda yang unggul sehingga bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, nusa, bangsa, dan agama.
Terkait dengan keberadaan buku SBY, langkah yang meski dulakukan sivitas pendidikan kita adalah, menyaring buku-buku yang beredar di sekolah. Jangan sampai para siswa terkena racun politik hanya karena kesalahan pihak dunia pendidikan dalam memberikan fasilitas buku. Buku-buku gratis (free) memang sekilas menggiurkan, namun yang meski dipertimbangkan adalah akibatnya.
Terkait dengan para siswa kita meski membaca buku sebanyak-banyaknya, bukan berarti mereka dilepaskan sehingga mengonsumsi segala macam buku yang ada. Diantara siswa kita ada yang memiliki filter kuat sehingga bacaan yang ada hanya dijadikan bahan wawasan, namun juga ada yang langsung dijadikan dasar hidupnya. Maka dari itu, secara keseluruhan, penyaringan buku di lingkungan sekolah meski menjadi perhatian. Wallahu a’lam.
Penulis, Pustakawan PP Nurul Ummah Yogyakarta

Memberantas Kemiskinan di Pedesaan

Oleh Anton Prasetyo

Dimuat Suara Karya, 31 Januari 201

Kemiskinan di seluruh pelosok Indonesia tak lagi dapat hindarkan. Di desa. lapangan pekerjaan tak dapat menampung tumpukan tenaga kerja yang ada. Salah satu jalan yang menjadi fenomena sekaligus pilihan bagi warga desa adalah melakukan urbanisasi. Meskipun jalan berpindah dari desa ke kota ini tak ubahnya dengan pemindahan tempat kantong-kantong kemiskinan, tetap saja urbanisasi menjadi pilihan utama.
Betapa ritual urban yang sudah mentradisi ini sering mengalami kegagalan, namun tetap saja warga menjadikan perpindahan ini sebagai satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib hidupnya. Kepadatan Kota Jakarta yang melebihi ambang batas tidak pernah dirisaukan. Yang terbayang dalam benak para warga urban adalah, bahwa perputaran rupiah di kota begitu cepatnya sehingga dirinya berharap bisa 'kecipratan' uang tersebut.
Realita semacam ini memang tidak bisa dibantahkan begitu saja. Apalagi, hingga kini warga desa selalu mengadakan 'puasa massal' sepanjang zaman karena tiadanya harta yang bisa dijadikan bekal untuk kesejahteraan. Mereka harus puasa dari makan dan minum yang layak, puasa dari berpaikaian indah, puasa dari berkendaraan mewah, puasa dari tempat tinggal yang megah dan lain sebagainya.
Jika saja puasa yang harus dilakukan ini masih dikatakan dalam batas kewajaran, dalam arti mereka bisa makan, berpakaian dan tempat tinggal yang layak, hal itu tidak jadi masalah. Namun demikian, bukan kondisi layak yang dijalani warga desa ini. Dalam pemenuhan kebutuhan primer saja, mereka masih sangat terkatung-katung.
Lihatlah, betapa banyak di antara warga desa yang dalam mengonsumsi makanan, tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk bisa makan 2 (dua) kali sehari. Kalau pun masih bisa makan sekali sehari, itu pun dengan kualitas makanan yang ada sangat memrihatinkan.
Kandungan gizi yang meski dibutuhkan tubuh, tidak pernah tercukupi sesuai dengan yang selama ini banyak diteorikan. Rumah-rumah warga masih banyak yang terbuat dari kayu dengan dinding anyaman bambu (gedek) dengan kondisi yang sangat memrihatinkan. Kondisi ini pun masih sedikit layak dibandingkan dengan masih banyaknya warga yang tidak mempunyai rumah hunian dan hanya bisa hidup menggelandang.
Tetap Tertindas

Betapapun kepergian warga desa ke kota memiliki tujuan mulia lengkap dan untuk menjaga prestise diri. Namun, tanpa memiliki bekal yang cukup, mereka cenderung akan terkatung-katung setelah pindah dari desa ke kota. Bagaimana tidak, diteorikan atau tidak, secara alamiah, dengan semakin menumpuknya pekerjaan, tanpa adanya imbangan lapangan pekerjaan, dipastikan akan banyak pekerja yang harus menganggur. Dalam hal ini, warga desa-lah yang nomor satu akan disepak dari lapangan pekerjaan yang ada.
Dalam filsafat Survival of Yhe Fittest diterangkan bahwa Charles Darwin dengan sangat baik menggambarkannya dalam satu hipotesis sederhana: hanya ada satu hukum umum yang mengarah pada perbaikan seluruh makhluk hidup, yakni berkembang biak, buatlah variasi, biarkan yang paling kuat hidup dan yang paling lemah mati. (Ahmad Rafsanjani: 2010)
Dari hipotesa Darwin inilah akan tercermin betapa warga desa saat mencari lapangan pekerjaan akan menjadi objek 'yang paling lemah mati'. Dirunut dari awal niatan berurban saja, warga desa sudah kentara sebagai orang-orang yang lemah. Bukan sekedar lemah dari sisi ekonomi belaka, melainkan juga lemah dalam segala hal, termasuk pendidikan dan pengalaman.
Bagaimana mungkin warga desa akan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam hal keilmuan jika pendidikan mereka umumnya lulusan SD. Bisa dibayangkan bila mereka langsung diterjunkan ke kota untuk mencari nafkah, bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga sudah ditunggu sanak keluarga untuk bisa menikmatinya. Mereka juga tidak banyak berkelana untuk mencari pengalam sehingga bisa menjadi bekal hidupnya.
Pepatah experience is the best teacher (pengalaman adalah guru yang terbaik), yang sering terdengar di telinga kita, tak pernah menjadi perhatian warga desa. Mereka dalam melakukan urban ke kota hanya berbekal nekat dengan 'impian-impian manis', dapat memperbaiki perekonomian diri dan keluarga. Namun begitu, pada lini lainnya, mereka melupakan prasyarat yang meski dicukupi agar penggapaian impian mulianya bisa terlaksana dengan mulus.
Prasyarat ilmu pengetahuan dan/atau pengalaman yang tiada dimiliki warga desa ini mengakibatkan mereka harus disingkirkan dari dunia kerja. Mereka dianggap kalah bersaing dengan orang-orang berpendidikan tinggi lengkap dengan pengalaman-pengalamannya. Orang-orang yang mampu bersaing inilah yang jika dikompromikan dengan hipotesa Darwin sebagai orang-orang 'yang paling kuat hidup'.
Berurat akar dari sinilah, tak mustahil jika banyak anak dalam melakukan urbanisasi, bukannya menjadikan ringan beban ekonomi keluarga, mereka malah menambah beban berat ekonomi keluarga. Sering kali orang tua harus memberikan ongkos berangkat anaknya yang akan bekerja ke kota dengan harapan saat pulang akan membawa uang yang melimpah, namun kenyataannya anak tersebut tidak mendapatkan pekerjaan. Alhasil, orang tualah yang harus pontang-panting, gali lobang-tutup lobang, pinjam uang ke sana ke mari hanya sekedar untuk memulangkan kembali anaknya dari kota.
Bagaimanapun urbanisasi bukanlah satu-satunya jalan untuk mengentaskan kemiskinan warga desa. Warga desa yang melakukan urbansisasi ke kota akan mencapai kesuksesan dan akan mampu mengubah perekonomian diri dan keluarganya. Sebaliknya, warga desa yang keberangkatannya tanpa modal ilmu dan pengalaman, mereka tidak akan mampu bersaing dengan para pekerja lain. Boleh jadi mereka dipastikan bisa pulang dengan tangan hampa, lengkap dengan catatan hutang.
Di antara solusi meyakinkan untuk mengentaskan kemiskinan warga desa, bukanlah dengan cara-cara instant semisal urbanisasi. Terlebih, hal yang paling penting adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan ilmu pengetahuan serta pengalaman kepada mereka. Dengan demikian, ke depan bukan sekedar mereka mampu bersaing dalam mencari pekerjaan, namun juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang ada di lingkungannya. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Staf pengajar Pondok Pesantren Nurul Ummah,
alumnus UMY dan UIN Yogyakarta