Senin, 15 Desember 2008

Harga BBM picu kepadatan jalan raya

HARIAN JOGJA
Harga BBM picu kepadatan jalan raya
Selasa, 16 Desember 2008 08:53 Eko

Senin (15/12) menjadi hari istimewa sekaligus mengagetkan. Di hari tersebut, pukul 00:00 BBM diturunkan harganya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa mulai pukul 00:00 hari Senin tanggal 15 Desember 2008 BBM untuk jenis bensin dan solah diturunkan harganya.
Dikata istimewa sekaligus mengagetkan dikarenakan diturunkannya harga BBM ini jangka waktunya sangat dekat dengan diturunkannya harga BBM untuk periode sebelumnya. Sebelumnya, harga BBM dinaikkan tanggal 1 Desember 2008 atau tepatnya setengah bulan kurang sehari. Selain itu, pemerintah sebelumnya juga mengumumkan bahwa harga BBM akan setelah tanggal 1 Desember 2008 akan diturunkan lagi secepatnya awal tahun 2008. Menariknya, penurunan harga BBM kali ini berbeda dengan penurunan pada 1 Desember. Jika pada 1 Desember harga BBM yang diturunkan hanya jenis bensin, dari Rp6.000 per liter menjadi Rp5.500 per liter, kali ini kedua jenis BBM (bensin dan solar) diturukan harganya. Harga solar yang sebelumnya Rp5.500 per liter, kini menjadi Rp4.800 per liter. Sementara untuk BBM jenis bensin yang sebelumnya Rp5.500 per liter, kali ini diturunkan menjadi Rp5.000 per liter. Pun demikian meskipun harga BBM kali ini diturunkan, sebagaimana yang penulis simak pada Opini Publik RRI (Radio Republik Indonesia) pada Senin (15/12), mereka masih sanksi bahwa diturunkannya BBM kali ini menjadikan tarif angkutan umum juga turun. Hal ini dikarenakan semenjak 24 Mei lalu tarif angkutan umum naik. Padatnya jalan raya Terkait semakin padatnya jalan raya di Kota Jogja, naik turunnya harga BBM sangatlah signifikan pengaruhnya. Saat ini harga BBM turun, pengguna motor dan mobil pribadi langsung dapat merasakan penurunan tersebut. Dengan harga BBM jenis bensin semenjak 1 Desember lalu senilai Rp5.500 per liter dan sekarang turun menjadi Rp5.000 per liter, jika dalam sehari menghabiskan 3 liter berarti dirinya dalam sehari sudah bisa menghemat uang senilai Rp1.500. Berbeda dengan kenyataan yang dirasakan pengguna angkutan umum. Meskipun harga bensin terus menurun, tarif angkutan masih tetap. Di sinilah dampak penurunan harga BBM tidak dirasakan bagi pengguna jasa angkutan. Padahal, realita yang ada, ketika harga BBM naik, tarif angkutan umum pun langsung bisa dirasakan pengguna angkutan umum. Dari beberapa realita di atas dapat dianalisa bahwa karena masyarakat tidak menginginkan adanya kerugian, antara menggunakan kendaraan pribadi dengan menggunakan angkutan umum dalam bertransportasi, lebih suka dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jika saja ada orang yang tetap menggunakan angkutan umum rata-rata dikarenakan terpaksa. Keterpaksaan ini bukan karena dipaksa sopir atau kernet angkutan umum, namun karena tidak mempunyai alat transsportasi pribadi. Sehingga dari sini, mau ataupun tidak dirinya harus menggunakan alat transportasi umum. Alhasil, tidak heran jika jalan raya penuh sesak dengan pengguna alat transportasi pribadi dibanding sementara angkutan umum kosong. Ada dua titik permasalahan yang mestinya segera diselesaikan agar padatnya jalan raya dapat diminimalisir. Pertama, pemilik bersama dengan pemerintah kota seharusnya segera menurunkan tarif angkutan umum saat BBM turun. Dengan diturunkannya tarif angkutan umum ini menjadikan animo tersendiri bagi masyarakat untuk menggunakan angkutan umum sebagai alat transportasinya. Sehingga pemilik angkutan umum pun tidak harus was-was dengan kebijakan yang ditetapkannya, menurunkan harga angkutan. Kedua, seluruh masyarakat sebagai pengguna jalan raya harus juga sadar bahwa dengan dirinya selalu menggunakan transportasi pribadi akan menyebabkan padatnya jalan raya. Jika keduanya bisa berjalan hingga 30% saja, penulis yakin penurunan kepadatan jalan raya dapat dirasakan bersama. Wallahu a’lam.
ANTON PRASETYO Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Jogja

Minggu, 07 Desember 2008

Perbedaan (PKB) Adalah Rahmat?

KEDAULATAN RAKYAT
Perbedaan (PKB) Adalah Rahmat?
28/04/2008 11:41:26 MENDISKUSIKAN Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak bisa lepas dari pembahasan Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama (Ormas NU). Bagaimanapun keberadaan PKB lahir dari Ormas NU. Selama ini PKB merupakan partai kebanggaan warga NU. Keberadaan Ketua Dewan Syuro yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di negara Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid atau sering disebut Gus Dur sangat besar pengaruhnya bagi warga NU. Tidak sedikit yang menyatakan diri ‘mati urip manut Gus Dur’. Pernyataan semacam menunjukkan betapa besar simpati warga NU terhadap ‘pemimpinnya’. Pernyataan tersebut bukan hanya berada pada kalangan warga tingkat bawah saja yang notabene tidak alim atau mempunyai banyak ilmu serta sukanya anut grubyuk. Lebih dari itu, banyak para ulama serta kiai-kiai besar yang mempunyai pandangan hidup sebagaimana pernyataan di atas. Hanya saja mereka tidak terang-terangan menyatakan ‘mati urip manut Gus Dur’. Namun dengan pendiriannya yang tetap mengikuti Gus Dur tanpa harus banyak berpikir (sebagaimana seorang muslim harus mengimani Allah dan utusannya) merupakan satu tanda bahwa orang tersebut pada hakikatnya sama dengan menyatakan dengan shorih pernyataan ‘mati urip manut Gus Dur’. Bermula dari sini, keberadaan PKB yang salah satu tokoh utamanya adalah Gus Dur mendapat respons baik dari masyarakat Indonesia. Selama mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) hasil yang diraih PKB tidak pernah mengecewakan, bahkan termasuk partai nomor atas. Hal ini tidak terlepas dari jumlah warga NU yang persentasenya lebih dari 60 persen jumlah penduduk Indonesia. Sementara, mereka juga sami’na waatokna kepada pemimpin cukup kuat. Kendati demikian, sangat disayangkan. Belakangan eksistensi PKB memudar. Terbukti di sana-sini terdapat banyak polemik. Kemunculan partai baru Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) menjadi satu polemik tersendiri. Dengan keberadaan PKNU berarti massa PKB akan terkurangi. Warga NU adalah sasaran utama PKB. Sementara PKNU juga sangat mengharapkan massa dari warga NU. Sehingga dari sini jika PKB ingin tetap mempunyai banyak massa, kerja keras harus dilaksanakan. Apalagi ‘katanya’ back up berdirinya PKNU adalah para ulama khos. Hal ini sangat mempengaruhi warga NU yang tadinya memihak PKB berbondong-bondong ke PKNU. Tidak hanya itu, polemik juga terjadi pada intern tubuh PKB. Konflik antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar merupakan realita yang dapat mengombang-ambingkan nasib PKB sendiri. Benar apa yang ditulis Hamdan Daulay, Dosen UIN Sunan Kalijaga dan kandidat Doktor Ilmu Politik UGM Yogyakarta. Kalau dibiarkan fitnah menyebar di tubuh PKB maka cepat atau lambat akan membuat PKB semakin rapuh dan bahkan hancur (Kedaulatan Rakyat 23/4/2008). Keterombang-ambingan PKB juga semakin parah saat Gus Dur sebagai tokoh panutan warga NU, di sisi lain banyak kiai terkemuka dan orang-orang besar di PKB mendukung Muhaimin Iskandar untuk tidak mundur sebagai Ketua Dewan Tanfidz DPP PKB. Ulama seniman yang juga termasuk deklarator PKB, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Niam Salim (Ketua DPP PKB), KH Ha syim Muzadi (Ketua PBNU), Muhith Muzadi dan KH Mahfud Rizwan, salah seorang kawan karib Gus Dur saat menuntut ilmu di Baghdad, Irak. Meskipun ada warga NU yang kesetiaannya terhadap Gus Dur sangat besar, namun dengan melihat fenomena semacam dalam benaknya pasti juga terdapat kebimbangan. Di satu sisi Gus Dur merupakan orang panutan. Namun demikian warga NU juga tidak mengesampingkan keberadaan kiai-kiai besar NU semacam Gus Mus. Mereka juga sebagai orang-orang yang diikuti warga NU. Dengan pecahnya pandangan tokoh-tokoh besar PKB maka akan pecah pula pandangan massa PKB. Bagi PKB perpecahan ini masih menguntungkan. Namun jika massanya tidak lagi pecah, namun lari meninggalkan PKB karena kebingungannya, merupakan realita yang perlu disayangkan. Perbedaan Adalah Rahmat? Adalah pertanyaan besar jika menilik polemik dalam tubuh PKB apakah sebuah rahmat atau bukan. Tentu dengan adanya polemik ini di satu sisi akan me nimbulkan kebimbangan yang justru menjadikan PKB semakin lemah. Hal ini sebagaimana terurai di atas. Namun begitu tidak dapat dipungkiri, dengan adanya polemik ini juga dapat mendewasakan keberadaan PKB. PKB akan dapat pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran untuk berbenah diri dan menjadi pegangan dalam perjalanannya sebagai partai politik di masa mendatang. Hanya saja yang perlu diperhatikan sekarang adalah: benarkah polemik (perbedaan) yang ada dalam tubuh PKB lebih besar manfaatnya (rahmat) dibandingkan dengan madharatnya? Jika memang konflik antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar dimungkinkan akan membawa kemajuan PKB, tentu hal ini menjadi rahmat bagi PKB. Namun jika sebaliknya, dengan adanya konflik ini semakin melemahkan PKB berarti rahmat tidak terdapat di dalamnya. Analisis secara kasar, dimungkinkan dengan adanya konflik ini bagi orang-orang besar (baca; pembawa panji PKB) yang banyak berpikir untuk kebaikan PKB akan semakin cerdas dan dapat menjadi ikon baik bagi PKB di masa mendatang. Namun demikian, bagi massa PKB, karena mereka hanya anut grubyuk dan sami’na waatokna terhadap pimpinan, mereka akan semakin terombang-ambing dalam kebingungan dan tidak mustahil pada akhirnya lari dari PKB. Itulah kiranya yang perlu dipertimbangkan. Warga NU dan massa PKB yang berada di pedesaan tidak begitu paham bagaimana dunia perpolitikan. Jika para pemimpinnya saja sudah saling bermain politik yang justru membingungkan pengikutnya, tentu dampak negatifnya tidak mungkin dihindari. Wallahu a’lam. q - m. (3638-2008). *) Anton Prasetyo, Koordinator Litbang Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M), sedang belajar di Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta.

KOMPAS Cetak : Di Mana Ada Pupuk?

KOMPAS
Di Mana Ada Pupuk?
Selasa, 2 Desember 2008 | 11:44 WIB

Oleh Anton Prasetyo

Teman, benarkah kita mempunyai dinas pertanian? Di manakah peran mereka? Itulah pesan pendek yang penulis terima pekan lalu dari seorang teman. Penulis sendiri tidak tahu apa maksud pesan tersebut dan kebetulan tidak menjawabnya. Namun, penulis dapat menebak, inti dari pesan pendek itu peran dinas pertanian belum kentara.

Jika maksud pesan pendek (SMS) tadi adalah benar, sesuai dengan prediksi, penulis membenarkannya. Pasalnya, kegetiran kaum petani tidak kunjung usai. Mulai dari menggarap lahan hingga panen serasa tidak pernah mendapat perhatian dari dinas pertanian. Padahal, petani adalah orang yang berperan besar bagi kelangsungan hidup seluruh masyarakat. Tanpa adanya petani, tidak mungkin kelangsungan hidup akan terlaksana dengan lancar.

Kegetiran yang dilanda petani saat ini adalah terkait dengan pemenuhan pupuk untuk tanamannya. Di masa-masa memupuk kali ini, petani kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga standar. Di Bantul harga pupuk mencapai Rp 90.000 per 50 kilogram. Padahal, harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah adalah seharga Rp 60.000.

Harga ini sangat jauh antara harga ideal dengan realita di lapangan. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di Bantul saja. Berdasarkan liputan Metro TV akhir bulan lalu, di Riau harga pupuk urea naik dari Rp 2.340 per kilogram menjadi Rp 6.000 per kilogram. Pupuk TSP naik dari Rp 2.848 menjadi Rp 8.500 per kilogram.

Lebih parah lagi, pekan lalu penulis mendengar keluhan beberapa petani saat pulang kampung. Petani di daerah kelahiran penulis, yaitu Dusun Menggoran, Bleberan, Playen, Gunung Kidul, mengeluhkan tidak dapat memupuk tanamannya. Padahal, masa-masa tersebut adalah masa-masa tanaman harus dipupuk pertama kali setelah tanam. Para petani Dusun Menggoran ini tidak hanya mempermasalahkan harga pupuk yang melambung. Di Pasar Playen yang notabene pasar satu kecamatan dan biasa menyediakan pupuk, tahun ini tidak didapatinya.

Dari keterangan beberapa petani yang sempat penulis temui, meskipun di Pasar Playen, yang setiap tahun selalu menyediakan kebutuhan pertanian termasuk pupuk dan kenyataannya sekarang tidak, ada orang-orang yang datang ke Dusun Menggoran dengan menawarkan pupuk untuk dijual.

Mereka seakan memberikan pertolongan dan memanjakan petani. Yang mereka tawarkan, selain membawa pupuk ke rumah tempat petani tinggal, juga memberikan kesempatan kepada para petani untuk dapat menggunakan pupuk tanpa harus membayarnya kontan. Petani diberi kelonggaran untuk membayar pupuk hingga panen tiba.

Kendati demikian, menurut para petani, yang menjadi persoalan adalah harga yang dipatok para penjual pupuk sangat tinggi. Padahal, petani tidak mempunyai pilihan lain untuk mendapatkan pupuk selain membeli kepada para penjual tersebut. Pasar Playen yang selama ini menjadi langganan petani dalam memenuhi seluruh kebutuhan pertaniannya, saat ini tidak.

Para petani ini juga tidak begitu berpengalaman untuk mencari kebutuhan pertaniannya hingga ke luar daerah. Akhirnya, pilihan salah satunya adalah, meskipun dengan berat hati, tetap membeli kepada penjual yang datang tersebut.

Adanya permainan

Praduga kasar, saat ini tidak mungkin ada orang yang baik sebaik yang dilakukan penjual pupuk di atas jika tanpa tujuan tertentu. Selain mereka telah mengantarkan pupuk sampai rumah petani, mereka juga memberikan kesempatan kepada petani untuk menunda pembayaran hingga masa panen tiba. Dalam kasus ini, pasti terdapat permainan yang akhirnya berdampak negatif pada petani.

Jika persoalan ini dikaitkan dengan pemerintah, hingga saat ini pemerintah tidak kurang-kurangnya dalam membela petani. Pemerintah terus memerhatikan petani. Beragam media massa selalu mewartakan bahwa pemerintah menjamin petani tidak akan kesulitan mendapatkan benih, pupuk, obat, dan seluruh kebutuhan pertanian lainnya. Pemerintah juga memberikan standar maksimal penjualan barang-barang tersebut. Selain itu, pemerintah juga memerhatikan harga jual panen yang dihasilkan para petani.

Namun, semua hanyalah sampai pada teori. Secara praktis di lapangan, petani tetap kelabakan memenuhi segala kebutuhan pertaniannya. Mereka selain harus pontang-panting mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya juga harus membeli dengan harga yang mahal. Sementara itu, saat musim panen tiba, harga selalu anjlok.

Ketidaksinkronan antara harapan pemerintah untuk menyejahterakan petani dan realita yang selalu menunjukkan petani selalu termarjinalkan dapat dipastikan ada faktor yang mendalanginya. Keberadaan orang yang ingin menang sendiri, menimbun kebutuhan pertanian, dan mempermainkan harga adalah faktor utama yang menyebabkan kondisi kaum petani selalu tidak sesuai dengan harapan.

Saat ini, dengan modal uang banyak dan sedikit pengalaman, siapa pun dapat membeli dan menimbun bahan-bahan pertanian. Akibatnya, di pasaran bebas, barang-barang tersebut menjadi tidak ada. Saat-saat inilah petani merasa kebingungan. Mereka memerlukan barang-barang pertanian, tetapi kenyataannya di pasar yang biasa menyediakan kebutuhan pertaniannya, tidak lagi menyediakan. Pada saat seperti inilah pemilik penimbun barang-barang pertanian dapat mengeluarkan timbunannya kepada petani. Mereka mematok harga berapa pun karena tidak ada pilihan lain petani akan mengikutinya.

Penulis tidak dapat membayangkan, jika nasib petani terus begini. Dalam jangka satu atau dua tahun mungkin mereka masih bisa menerima keadaan ini. Namun, tahun-tahun berikutnya, mereka pasti akan merasakan kegetiran hidup yang luar biasa. Selain kesehariannya harus terkena terik matahari di tengah sawah, pikirannya juga tidak tenang karena apa yang diusahakan belum tentu mendapat untung.

Untuk itu, pemerintah hendaknya terus meningkatkan perhatian kepada nasib kaum petani. Dengan cara merealisasikan program- programnya untuk melindungi petani dari ketidakkekurangan semua yang dibutuhkan dalam pertanian, termasuk melindungi harga. Langkah ini, di antaranya memberikan sanksi kepada penimbun barang-barang pertanian yang dengan sengaja bermaksud mempermainkan harga pemasaran. Wallahu a'lam.

Anton Prasetyo Koordinator Litbang Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

Sekolah Moral, Adakah? - Kamis, 27 September 2007

KOMPAS
Sekolah Moral, Adakah?

Oleh ANTON PRASETYO

Seiring dengan perkembangan zaman, generasi muda seolah digembleng dengan berbagai ilmu. Tujuan adanya gemblengan tersebut dimaksudkan agar generasi muda nantinya akan tercetak menjadi generasi muda yang berkualitas. Generasi muda yang sanggup menghadapi zaman yang terus berkembang.

Saat ini bukanlah hal yang mustahil, orangtua tidak menyuruh anaknya untuk mengerjakan apa pun selain sekolah dan belajar. Para orangtua merelakan waktu senggang yang seharusnya dapat digunakan anaknya untuk membantu meringankan pekerjaan dirinya, asalkan si anak mau belajar. Tidak hanya itu, untuk membangkitkan semangat belajar anak, orangtua tidak segan-segan memberikan apa pun yang diminta anaknya, apalagi permintaan itu terkait dengan penunjang belajarnya, pasti orangtua akan segera memenuhi permintaannya.

Akhirnya, ke mana pun seorang anak minta sekolah, orangtua hanya menurutinya saja. Bagi mereka yang mempunyai perekonomian kelas elite, berapa pun uang yang diminta anaknya untuk biaya sekolah akan diturutinya. Sedangkan bagi mereka, orangtua yang perekonomiannya kelas menengah hingga marjinal, meskipun sangat berat mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan keinginan anaknya bersekolah pada sekolah yang dipilihnya.

Dalam memilih sekolah, seakan sudah dapat dipastikan jika biaya pendidikan yang dipatok sekolah terkait murah, seakan dapat dipastikan sekolah terkait murahan juga. Namun, jika sekolah mematok biaya yang mahal, seakan dapat dikatakan sekolah tersebut berkualitas, apalagi jika sekolah tersebut mendapat embel-embel favorit atau bahkan menjadi sekolah kelas internasional.

Dari sini, meskipun harus mengeluarkan uang banyak, orangtua dan anak yang ingin bersekolah tidak harus kesulitan menentukan sekolah yang berkualitas. Selain membandingkan harga mahal dan murah, mereka hanya dengan membandingkan beberapa sekolah yang telah terkenal kualitasnya dapat menentukan sekolah yang akan dijadikan pijakan belajar seorang anak. Di samping itu, calon siswa juga menyesuaikan kemampuan yang dimilikinya untuk menentukan sekolah mana yang mampu dimasukinya.

Dengan demikian, keinginan orangtua maupun seorang generasi muda untuk merealisasikan menjadi seorang yang berilmu tinggi sehingga tidak ketinggalan zaman tidaklah terlalu sulit.

Meskipun demikian, tantangan generasi muda dalam menghadapi perkembangan zaman yang berjalan dengan pesat sebenarnya tidak cukup hanya dengan mempersiapkan ilmu. Di samping harus terus menggali ilmu umum, mereka juga harus selalu siap membentengi diri dari budaya-budaya barat yang tidak sesuai kebudayaan ketimuran. Adanya fasilitas yang serba canggih; internet, telepon seluler (ponsel), televisi, dan semacamnya selain menunjang dalam belajar mengembangkan kemampuan keilmuan generasi muda, juga banyak menyuguhkan budaya-budaya asing yang sebenarnya tidak layak untuk dikonsumsi generasi muda.

Dengan hanya menekan situs-situs tertentu yang ada di internet, generasi muda tidak akan kesulitan mendapatkan berbagai informasi dan ilmu yang dibutuhkan. Begitu pula dengan ponsel dan televisi, dengan peralatan-peralatan seperti itu mereka akan dengan mudah dan cepat mengakses segala informasi dari berbagai belahan bumi yang ada di dunia ini. Selain itu, mereka juga akan dengan mudahnya menyampaikan informasi penting yang sekiranya diperlukan orang lain. Namun, semua itu tidaklah segalanya dimanfaatkan generasi muda.

Mereka sering kali menyalahgunakan fasilitas yang ada. Kenyataan ini karena internet, ponsel, televisi, dan semacamnya selain menyuguhkan berbagai ilmu dan informasi yang dibutuhkan generasi muda juga menyuguhkan berbagai ilmu dan informasi yang sama sekali tidak memberikan manfaat sedikit pun pada generasi muda terkait. Adanya situs-situs pornografi, tayangan televisi yang tak pernah lepas dari gaya kebarat-baratan semua merupakan bagaimana fasilitas yang menyuguhkan hal-hal yang positif juga menyuguhkan hal-hal negatif.

Selanjutnya, karena memang fasilitas sudah menyediakan berbagai informasi, termasuk yang negatif, mulai dari coba-coba generasi muda akhirnya kecanduan untuk menikmati suguhan-suguhan negatif yang ditawarkan media. Akhirnya, generasi muda tidak hanya kecanduan dengan menikmati perkara-perkara negatif yang disuguhkan media, lebih dari itu mereka tidak ingat lagi dengan niat utama, mencari ilmu dan informasi yang kiranya dapat menjadikan dirinya siap menghadapi perkembangan zaman.

Tak menjamin

Banyak di antara mereka tidak konsentrasi dalam belajar di sekolah atau kuliahnya. Mereka lebih suka nongkrong-nongkrong di tempat-tempat umum, pacaran ke sana kemari, hingga menjadi pecandu narkoba.

Dalam pergaulan sehari-harinya pun mereka seakan tidak lagi memegangi moral yang ada. Dalam berpakaian, mereka sudah menirukan bagaimana para artis mengenakan pakaiannya. Padahal, artis-artis yang ada seakan selalu tampil dengan pakaian yang sebenarnya tidak pantas ditiru pada masyarakat luas, utamanya generasi muda. Selain itu, akibat dari perkembangan zaman yang tidak terkendali ini, tidak sedikit dari generasi muda yang kebablasan dalam pergaulannya sehingga tidak jarang pula terdengar di telinga adanya generasi muda yang melakukan perbuatan mesum dengan pacarnya. Mereka tidak lagi memegang norma-norma yang ada. Moral mereka seakan sudah tak tertancap lagi dalam jiwanya.

Lantas, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah adakah sekolah yang mampu mencetak moral generasi muda tetap dalam bingkai batas norma-norma yang ada? Selama ini sekolah-sekolah yang notabene mempunyai embel-embel favorit atau kelas internasional pun tidak dapat menjamin moral siswanya akan baik. Bahkan, tidak sedikit dari sekolah-sekolah sebagaimana tersebut yang pergaulan siswanya jauh dari moral yang seharusnya selalu dipeganginya.

Anton Prasetyo Ketua Jamiyyah Qurra' wal Huffadz Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

Refleksi 176 Tahun Zone Selatan - Senin, 11 Juni 2007

KOMPAS
Refleksi 176 Tahun Zone Selatan

Oleh ANTON PRASETYO

Seakan terlupakan, bertepatan dengan satu tahun terjadinya gempa bumi DI Yogyakarta-Jawa Tengah, 27 Mei lalu, usia zone selatan atau Kabupaten Gunung Kidul juga genap 176 tahun. Dalam usianya yang sudah mencapai ratusan tahun ini tentu banyak perubahan yang ada di sana.

Perubahan tersebut tentunya mempunyai dua kategori. Kategori pertama adalah perubahan positif. Perubahan kategori ini mengarah pada kemajuan pembangunan yang ada, yang meliputi fisik dan nonfisik. Kategori yang kedua ialah kategori perubahan negatif.

Secara sekilas banyak perubahan positif yang ada pada kabupaten berluas 1.486,36 kilometer persegi ini. Dari faktor fisik, pembangunan jalan utama (Jalan Wonosari-Yogyakarta) merupakan potret terbesar perubahan positif yang ada. Perubahan itu dapat dirasakan tidak hanya penduduk Kabupaten Gunung Kidul saja.

Dapat dibayangkan empat tahun ke belakang kondisi jalan utama Kabupaten Gunung Kidul sangat memprihatinkan. Selain jalan terlihat sempit dan banyak kelokan tajam dan lubang yang membuat pengendara baik sepeda motor maupun mobil tidak nyaman menggunakannya.

Namun demikian, dalam waktu yang relatif singkat, jalan utama Kabupaten Gunung Kidul seakan disulap, yang tadinya sangat memprihatinkan menjadi membanggakan. Nama Irung Petruk yang dulu tidak pernah dilupakan setiap pengguna jalan utama Kabupaten Gunung Kidul saat ini tinggal kenangan. Hal itu bukan karena Irung Petruk tidak lagi ada, namun karena jalan yang menekong tajam sehingga menyulitkan pengguna yang berada tepat di sebelah selatan gambar Irung Petruk sudah dialihkan dengan jalan pintas, lurus, dan luas. Selain itu, pelurusan jalan yang selama ini sering menghambat perjalanan banyak yang sudah diperbaiki, luruskan.

Sementara itu, pembangunan yang bersifat nonfisik di antaranya semakin kentara generasi mudanya yang semakin peduli terhadap pendidikan. Pendidikan tingkat SLTA yang belum lama dianggap "wah" oleh sebagian besar kawasan pedesaan Kabupaten Gunung Kidul karena jarang yang melakukan saat ini sekolah tingkat SLTA sudah menjadi kebiasaan.

Perubahan negatif

Meskipun dari segi fisik dan nonfisik Kabupaten Gunung Kidul terdapat kemajuan, perubahan yang mengarah kepada kemunduran yang berarti bersifat negatif tampak jelas, utamanya penduduk yang merasakan dan penilaian sekilas kabupaten lain yang ada di DI Yogyakarta. Tidak sedikit permasalahan yang sampai saat ini belum dapat dituntaskan merupakan satu kenyataan negatif yang ada di Kabupaten Gunung Kidul.

Permasalahan yang bersifat fisik di antaranya masih banyak keluarga miskin. Di tahun ini keluarga miskin yang ada berkisar 25 persen. Padahal, rencana jangka menengah kabupaten dalam kaitannya dengan pemberantasan kemiskinan ini direncanakan 15 persen. Kenyataan ini juga jika dibandingkan tahun 2006 mengalami peningkatan kuantitas. Jumlah keluarga miskin Kabupaten Gunung Kidul tahun 2006 berkisar 65.000 sehingga satu tahun terakhir peningkatan jumlah keluarga miskin yang ada lebih dari 30.000 keluarga.

Untuk perubahan negatif yang bersifat nonfisik di antaranya sumber daya manusia (SDM) banyak yang menganggur. Mereka tidak mempunyai aktivitas utama sehingga tidak jarang pemudanya pergi ke luar daerah untuk mendapatkan pekerjaan.

Dari uraian di atas, meskipun Kabupaten Gunung Kidul memiliki perubahan positif, namun terlihat masih sangat minim. Sementara perubahan yang mengarah ke negatif masih banyak terlihat di sana.

Dengan demikian, dalam usianya yang telah genap 176 tahun ini ke depan diharapkan dapat meningkatan kinerja pemerintahan yang ada sehingga tercapai kemajuan kabupaten akan terlihat tidak hanya dalam satu sektor saja, melainkan di semua sektor. Untuk mewujudkan harapan mulia ini, tentu perlu adanya pemikiran yang matang dan mendasar. Tidak asal bekerja dan yang penting terlihat orang lain.

Dari segi fisik, memanfaatkan beberapa daerah unik yang ada dan potensial untuk berwisata akan menjadikan salah satu kemajuan tersendiri di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Dengan pembangunan tempat-tempat wisata baik yang saat ini sudah terlihat masyarakat luas (utamanya luar daerah) maupun yang belum akan menjadi daya tarik pengunjung tersendiri.

Tempat wisata pantai selatan yang meliputi Krakal, Baron, Kukup, dan sederetannya sampai saat ini sudah dikenal di berbagai daerah. Namun demikian, sampai kini pemanfaatannya masih stagnan.

Selain itu, banyak tempat wisata yang sebenarnya potensial namun hingga kini tidak ada yang mengenal. Hal itu juga dikarenakan pemerintah terlihat tidak pernah memerhatikannya.

ANTON PRASETYO Ketua Jamiyyah Qurra' wal Huffadz Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

KOMPAS Cetak : Di Balik Musim Pancaroba

KOMPAS
Di Balik Musim Pancaroba
Kamis, 16 Oktober 2008 | 11:47 WIB

Oleh Anton Prasetyo

Sesuai jadwal, bulan Oktober tahun ini merupakan bulan awal musim hujan. Pasalnya, pergantian musim yang kita ketahui selama ini adalah bulan April dan Oktober. Terbukti di hari-hari Lebaran yang bertepatan dengan awal bulan Oktober ini, DI Yogyakarta beberapa kali diguyur hujan.

Pancaroba, entah dari bahasa mana dan bermakna apa, itulah kata orang-orang pintar dalam memberi nama pergantian musim seperti yang sedang terjadi di daerah kita sekarang. Yang jelas, di musim-musim pancaroba sebagaimana saat sekarang banyak yang harus diperhatikan. Kesehatan tubuh sering kali terganggu. Apalagi yang staminanya kurang, dapat dipastikan langsung meriang.

Hal lain, di sejumlah tempat, warga sibuk kerja bakti membersihkan sungai, selokan, dan seluruh saluran air yang ada. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi datangnya banjir. Tidak ada yang tahu kapan terjadinya hujan lebat yang membawa air banyak, sehingga jika saluran air tidak bersih akan menghambat arus air dan akhirnya air meluber ke daratan dan terjadi genangan air di rumah warga. Maka dari itu, kegiatan kerja bakti membersihkan saluran dirasa perlu, bahkan urgen bagi sebagian warga utamanya yang berada di dataran rendah.

Terkait musim pancaroba, nasib petani tadah hujan ternyata harus mendapat perhatian tersendiri. Ternyata kegembiraan tidaklah dirasakan oleh semua petani tadah hujan saat musim pancaroba datang. Saat-saat mereka harus menanam benih masih saja ada kendala. Hal ini sebagaimana penulis alami sehari bersama petani-dan bahkan artikel ini ditulis atas dasar keprihatinan diri penulis terhadap nasib petani tadah hujan yang sempat ditemui.

Sabtu, 11 Oktober 2008, di sebelah utara Terminal Giwangan Yogyakarta, penulis bertemu dengan dua petani tadah hujan asal Gunung Kidul. Sebut saja mereka adalah Pak Jumikir dan Tugiyanto. Penulis sempat tersentak kaget saat keduanya menanyakan tentang benih jagung. Mereka menginginkan salah satu produk benih jagung yang sudah familier bagi petani dan minta ditunjukkan yang menjualnya.

Ketersentakan penulis bukan masalah kenapa mereka menanyakan benih jagung kepada penulis yang tidak pernah tahu-menahu tentang itu. Namun, kenapa hanya untuk mendapatkan benih jagung yang mereknya sudah terkenal saja harus jauh-jauh dari Gunung Kidul ke Kota Yogyakarta. Padahal, alasan mereka bukannya permasalahan harga mahal atau apa, melainkan tidak ada yang menjualnya.

Akhirnya, penulis memutuskan untuk mengantarkan mereka ke sejumlah koperasi unit desa (KUD), koperasi, dan toko pertanian di daerah Bantul dan Kota Yogyakarta. Namun, ternyata hasilnya nihil. Ternyata benar, sejumlah KUD, koperasi, dan toko pertanian di Bantul dan Kota Yogyakarta yang kami kunjungi tidak ada yang menjual benih jagung yang dimaksud. Mereka rata-rata berkata kehabisan stok dan barang belum datang.

Sebagai langkah akhir, mereka berdua penulis ajak ke Dinas Pertanian Yogyakarta untuk menggali informasi bersama-sama. Pihak Dinas Pertanian memberikan informasi orang-orang yang mengurusi benih jagung yang dimaksud dan nomor kontaknya. Benar, selepas kami dari Dinas Pertanian kami langsung menghubungi orang-orang yang dimaksud. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sebagai distributor benih jagung yang dimaksud. Saat kami menghubunginya, ternyata bernasib sama. Para distributor juga tidak memberi jawaban memuaskan, mereka tidak memiliki stok benih jagung.

Tidak tega melihat mereka berdua dalam kegelisahannya karena belum juga mendapatkan benih jagung, padahal musim hujan sudah tiba, penulis mengajak mereka untuk mendatangi salah satu koperasi pertanian di daerah Bantul. Dan baru setelah perjalanan melelahkan itulah, penulis dapat melihat senyum ceria kedua petani tersebut karena di koperasi yang kami tuju tersedia benih jagung yang mereka butuhkan.

Tidak hanya itu, permasalahan belum selesai karena ternyata benih jagung yang tersedia, yang tahun lalu berkisar Rp 40.000 per kilogram, kini melonjak hingga lebih dari Rp 60.000 per kilogram. Padahal, sesuai dengan keterangan kedua petani tersebut, harga jual jagung yang mereka tanam berdasar pengalaman tahun-tahun yang lalu harganya berkisar Rp 1.000 per kilogram. Jika lebih tidaklah begitu banyak.

Nasib petani

Dari realita semacam itu, analisis kasar saja menunjukkan usaha petani untuk menghasilkan untung dari pertaniannya sangat kecil. Jika saja dalam hitungan sedikit, para petani ini menanam jagung satu kilogram dengan harga pembelian Rp 60.000, sementara mereka panen dengan jumlah 200 kilogram dengan harga jual Rp 1.000 per kilogram sehingga menghasilkan uang (Rp 1.000 x 200 = Rp 200.000), berarti mereka masih menyisakan uang Rp 140.000 (Rp 200.000-Rp 60.000). Sementara untuk membeli pupuk, obat, mencangkul, menyiangi, dan seluruh perawatan hingga panen dan siap jual, cukupkah dengan biaya Rp 140.000? Penulis tidak yakin terhadap jawaban "cukup". Bahkan, penulis yakin biaya yang ada lebih dari jumlah uang yang ada. Itu saja jika panen yang dihasilkan mencapai 200 kali lipat dari jumlah tanamnya.

Kiranya nasib nelangsa petani dan buruhnya tidak lagi diragukan. Mereka yang harus menjadi tumpuan hidup setiap orang ternyata belum mendapat perhatian yang semestinya. Betapa kita teganya membiarkan nasib mereka terus merana, politik pertanian yang hanya untuk mengkongkalikong petani terus saja digencarkan. Ingat, tanpa adanya kongkalikong politik, nasib petani sudah merana, kenapa mereka tidak pernah diberi angin segar?

Untuk saat sekarang, pihak-pihak berwenang memang sudah tidak bisa banyak bergerak. Harga benih memang sudah tinggi dan mayoritas petani tadah hujan sudah membelinya. Kendati demikian, bukan berarti tidak lagi punya tugas. Harga pupuk, obat, dan harga jual hasil pertanian haruslah berpihak pada petani adalah tugas pihak-pihak berwenang (dalam hal ini pemerintah) untuk merealisasikannya. Ringkas kata, mari kita bersama-sama mendukung kesejahteraan petani sesuai dengan kedudukan dan kemampuan kita masing-masing. Wallahu A'lam.

ANTON PRASETYO Koordinator Litbang Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat Nurul Ummah Yogyakarta

Menjadi PNS dan sebuah kejujuran

HARIAN JOGJA

Menjadi PNS dan sebuah kejujuran

E-mail Cetak PDF

Semua orang mengamini, menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pasti akan mendapat penghasilan mapan. Dengan menjadi PNS dapat dikata, bekerja atau tidak pasti dirinya akan mendapatkan penghasilan. Sehingga dari sini tidak mustahil setiap kali ada pendaftaran PNS atau dengan istilah lain pembukaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) pasti pendaftarnya membeludak. Kuota antara penerimaan dan jumlah pendaftar tidak imbang.

Dengan realita semacam ini, menjadi sesuatu hal yang wajar jika di sana-sini terdapat calo untuk mengelabuhi CPNS. Para CPNS diiming-imingi akan menjadi PNS dengan membayar uang sebagaimana yang ditetapkan para calo. Karena menjadi PNS sangat menentukan nasib penghasilan seseorang, tidak sedikit CPNS yang tergiur dengan iming-iming para calo untuk membayar sejumlah uang dengan dijanjikan akan menjadi PNS.

Sebagaimana dalam salah satu surat kabar edisi 20 November 2008 diwartakan bahwa Kecamatan Wonodadi Kabupaten Blitar terdapat warga yang mendapat jalan untuk diterima menjadi CPNS di Kota Kediri dengan imbalan Rp75 juta.

Dirinya sangat yakin dengan tawaran ini. Dengan senang hati dirinya membayarkan uang sejumlah Rp75 juta. Bahkan dirinya juga menjelaskan bahwa uang Rp75 juta bukanlah menjadi permasalahan baginya. Dirinya disuruh membayar Rp100 juta pun jika dirinya pasti diterima menjadi PNS pasti akan dibayarnya dengan senang hati.

Memang jika diselidiki apa yang dilakukan salah satu CPNS tersebut tidaklah berlebihan. Bagaimana tidak, dengan menjadi PNS, kehidupannya ke depan akan semakin terjamin. Dirinya setiap bulan akan mendapatkan uang dari pemerintah. Perkara dirinya mempunyai keilmuan sesuai dengan pekerjaannya atau tidak dan dirinya bekerja atau tidak, karena dirinya sudah tercatat menjadi PNS, permasalahan gaji sudah tidak dipermasalahkan lagi.

Anehnya, terkait dengan calo CPNS, ada juga jalan yang aman. Keamanan ini karena langsung ditangani oleh pemerintah kota (Pemkot) setempat. Hal ini juga sempat terjadi pada tahun 2006. Di tahun 2006, kursi CPNS dijual dengan harga Rp55 juta dan benar-benar aman.
Di DIY

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada musim pendaftaran CPNS ini tidak menutup kemungkinan adanya calo berkeliaran. Bahkan Pelaksana Tugas Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Yogyakarta Hardono, juga mengemukakan hal tersebut. Dirinya mengatakan di DIY tidak menutup kemungkinan terdapat praktik-praktik penipuan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab selama masa penerimaan CPNS masih terjadi.

Sehingga dirinya juga mengingatkan kepada CPNS DIY agar tetap berlaku jujur, tidak tergiur dengan rayuan calo. Tambahan formasi CPNS sebanyak 351 orang di Pemkot Yogyakarta pada tahun 2008 ini diharapkan dapat berjalan mulus. Diharapkan dari jumlah tersebut 158 diisi tenaga honorer yang telah bekerja dan masuk dalam database tahun 2005. Sementara 193 yang lain diperuntukkan bagi pelamar umum.

Jumlah 193 kursi ini tidak akan mungkin mulus diisi oleh orang-orang yang benar-benar mampu mengemban amanah menjadi PNS. Jika benar permainan calo terus terjadi, dari jumlah 193, dapat dimungkinkan hanya 100 orang yang benar-benar masuk menjadi PNS sebagaimana meskinya. Selebihnya, mereka menjadi PNS karena mempunyai uang dan celah sebagai terobosan untuk memasukinya.

Memang menjadi PNS sangat didamba-dambakan. Dengan menjadi PNS uang mengalir setiap bulannya. Tentu tidak ada yang mau menolaknya. Sehingga dari sini tidak mustahil kecurangan untuk memasukinya dilakukan. Pun demikian hanya uangkah yang diperlukan dalam kehidupan ini. Bukankah moral lebih berharga dari segalanya. Hanya dengan kejujuran pribadi dan sadar atas kesamarataan hak sesuai dengan kemampuan akan menjadikan seseorang mampu mengendalikan diri untuk selalu berjalan di jalan yang benar. Lantas, bagaimanakah dengan
CPNS kali ini?
Wallahu a’lam

Oleh Anton Prasetyo
Mahasiswa KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendapat Guru: BBM Melonjak, Pangan Membubung ==>Oleh Anton Prasetyo

KEDAULATAN RAKYAT
Pendapat Guru: BBM Melonjak, Pangan Membubung ==>Oleh Anton Prasetyo
06/06/2008 08:25:14 “MAAF pak, harganya Rp 6.500 per liter.” Nada berat itu terucap oleh penjual bensin eceran sebelah selatan UIN Suka Yogyakarta saat saya akan membelinya. Senada dengan kejadian ini, di salah satu POM bensin Yogya tertulis, maaf harga solar Rp 5.500 dan bensin Rp 6.000 per liter.
Dua kejadian di atas mengindikasikan ternyata kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak hanya dirasakan konsumen saja. Ada beban psikologis bagi para penjualnya. Bagaimana tidak, di satu sisi mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan demi kelancaran hidup diri dan keluarganya, pada sisi yang lain mereka tidak tega memberikan harga tinggi kepada konsumen.
Meskipun dalam dirinya terdapat perang batin, “namun apa boleh buat,” kiranya kata-kata yang terucap. Mereka tidak mungkin memberikan harga penjualan kepada konsumen sebagaimana sebelum ditetapkan kenaikan harga BBM. Akhirnya dengan keterpaksaannya mereka tetap menjual bahan bakar dengan harga tinggi.
Sebenarnya kenaikan BBM ini tidaklah menjadi persoalan yang berat. Kenaikan harga berkisar Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per liter tidaklah begitu besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat. Persoalan utama adalah harga-harga selain BBM yang juga ikut-ikutan naik setelah dinaikkannya harga BBM.
Betapa tidak, angkutan umum tidak mungkin menyamakan tarif harga setelah adanya kenaikan BBM. Dengan adanya kenaikan BBM jika dirinya akan mendapatkan hasil dari bekerjanya, mereka juga harus menaikkan tarif harga kendaraannya.
Sementara pengguna angkutan umum, mereka juga tidak ingin rugi dengan adanya kenaikan tarif angkutan umum ini. Jika mereka menjadi seorang pedagang, mereka akan membuat bagaimana agar dirinya tidak rugi dengan adanya kenaikan harga tarif angkutan umum ini. Tidak bisa tidak, yang mereka lakukan adalah memainkan harga penjualan barang-barang dagangannya. Singkat kata, ‘ekor’ dari adanya kenaikan BBM sangat panjang. Setiap lini kegiatan dapat dipastikan naik.
Tidak heran jika dalam pantauan Biro Administrasi Perekonomian DKI Jakarta, setelah adanya kenaikan harga BBM kenaikan harga barang-barang di pasar mencapai 4 persen. Pantauan tersebut dilaksanakan Selasa (27/5) di Pasar Kramat Jati dan sekitarnya.
Lantas, celah manakah yang mengindikasikan bahwa kenaikan harga BBM dapat menyejahterakan masyarakat. Atau setidaknya memberikan rasa tentram kepada masyarakat? Selanjutnya, di manakah peran pemerintah dalam upaya menyejahterakan masyarakat? Memang memusingkan! q - m
*) Penulis, Kepala Perpustakaan
MA Nurul Ummah Yogyakarta.

Pariwisata==SRI GETHUK ; Air Terjun di Tebing Karst Playen

KEDAULATAN RAKYAT
Pariwisata==SRI GETHUK ; Air Terjun di Tebing Karst Playen
20/04/2008 05:29:46 UNIK memang. Di sela-sela tebing karst yang gersang di Kabupaten Gunungkidul, terdapat air terjun yang menawan. Tepatnya di Dusun Menggoran, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, sekitar 40 km dari Kota Yogya. Masyarakat setempat menamainya dengan sebutan ‘Sri Gethuk’. Keberadaannya mengingatkan pada air terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu, Jawa Tengah. Secara fisik, air terjun Sri Gethuk memang mirip, namun ketinggiannya lebih rendah. Kalau Grojogan Sewu tingginya ratusan meter, air terjun di Playen itu hanya sekitar 80 meter. Menuju ke sana, dari jalan utama Yogyakarta-Wonosari harus menempuh jarak 10 km, diantaranya menempuh jalan batu putih (bukan aspal) sepanjang dua kilometer. Lokasinya sulit diakses tanpa memakai kendaraan pribadi, sebab angkutan umum tidak tersedia. Usai menyusuri jalan ini, awalnya sampai di Gua Rancang Kencana. Sedangkan untuk sampai ke air terjun Sri Gethuk, dari gua itu harus berjalan di jalan setapak yang tidak dapat dilalui kendaraan. Keindahan air terjun Sri Gethuk semakin terlihat, dengan keberadaannya yang tepat di tepi Sungai Oyo. Apalagi menuju ke tempat ini, di kanan-kirinya tampak suasana khas pegunungan yang menyejukkan. Keunikan lainnya, ada tiga sumber mata air yang menyembur di sekitar air terjun Sri Gethuk. Mengisyaratkan tempat itu dipenuhi oleh keajaiban alam. Ya, mata air Dung Poh, Ngandong dan Ngumbul mengelilingi keberadaan air terjun itu. Cerita mistik tentang tempat itu juga diyakini masyarakat Menggoran. Konon keberadaan air terjun Sri Gethuk merupakan lokasi pasar jin. Di malam-malam tertentu, sering pula terdengar bunyi gamelan dari arah air terjun itu. Warga percaya, gamelan itu dibunyikan oleh para jin yang suka kesenian dan milik dari Angga Mendura, nama dari raja jin Slempret. Tujuh Gua Tak jauh dari lokasi air terjun Sri Gethuk, terdapat setidaknya tujuh gua. Masing-masing gua Rancang Kencana, Ngledok, Dlingsem, Dilem, Song Ngoya, Tunting dan Jati Udeng. Gua Rancang Kencana yang keberadaannya sejalur dengan air terjun Sri Getuk merupakan tempat strategis untuk berwisata. Gua ini dalamnya indah dan lapang, mulut guanya cukup besar, jalan masuknya cenderung mendatar. Memudahkan siapapun untuk menjelajah ke setiap sudut gua itu. Keberadaan pohon raksasa yang tumbuh menjulang ke atas di dalamnya, menambah suasana yang sedap dipandang mata. Catatan sejarah dan cerita mistik juga menyertai keberadaan gua Rancang Kencana. Tempat ini pun pernah dipilih menjadi lokasi shoting beberapa film nasional. Antara lain film ‘Tutur Tinular’, ‘Nyi Pelet’ dan ‘Misteri Gunung Merapi’. Keberadaan air terjun Sri Gethuk sebenarnya dapat menjadi objek wisata kebanggaan masyarakat DIY, khususnya warga Gunungkidul. Sayangnya, masih banyak kendala untuk datang ke sana dan Pemkab Gunungkidul tampaknya belum menggarap secara optimal. ”Warga kami berusaha memberikan kenyamanan untuk pengunjung, semampu kami. Diantaranya membangun jalan setapak ke air terjun Sri Gethuk dan tangga menuju ke dalam gua Rancang Kencana,” tutur Abdul Hakim, koordinator pengelolaan wisata di sana. Semenjak 2006, Abdul Hakim berupaya mewujudkan kawasan air terjun Sri Gethuk sebagai salah satu objek wisata kebanggaan DIY yang layak dikunjungi. ”Tapi hingga sekarang hasilnya boleh disebut nihil. Pemerintah pun seakan memandang sebelah mata, belum tergerak untuk mengembangkan potensinya,” keluhnya. q -f Kiriman Anton Prasetyo, Koordinator Litbang LP2M Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

Perbedaan (PKB) Adalah Rahmat?

Perbedaan (PKB) Adalah Rahmat?

Pendapat Guru: Bijak Terima Hasil Unas

Pendapat Guru: Bijak Terima Hasil Unas

PENDAPAT GURU : Tidak Kuliah di Yogya, Tanya Kenapa?

PENDAPAT GURU : Tidak Kuliah di Yogya, Tanya Kenapa?