Selasa, 02 Maret 2010

Cinta Rasul Tidak Nikah Siri

Cinta Rasul Tidak Nikah Siri

Dimuat Merapi 1 Maret 2010
ANTON PRASETYO
Penulis Risalah Kafaah fi Nikah, Koordinator Litbang LP2M Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

Mutakhir, menjelang diperingatinya milad Nabi Muhammad Saw, kita digemparkan dengan pembahasan serius terkait pidana nikah siri (juga mut’ah). Kaitan dengan dua pembahasan ini ada satu titik yang meskinya menjadi landasan utama. Perayaan Maulid Nabi yang konon pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang Gubernur Irbil Irak (1138-1193) bertujuan untuk meningkatkan kualitas kecintaan umat Islam kepada Rasulullah Saw. Sementara dalam nikah pun juga sebagai pengejawantahan kecintaan umat kepada nabi, karena mangikuti sunahnya.
Dengan kata lain, antara peringatan maulid Nabi Muhammad Saw dengan nikah adalah sama-sama ingin mencinta dan dicintai Rasulullah Saw. Ada banyak hal sehingga Rasulullah memerintahkan bahkan memberikan contoh pelaksanaan nikah. Dengan pernikahan akan menciptakan rasa kasih sayang antara suami, istri, mertua juga sanak kerabat dan tetangga atau masyarakat (baca: menjalin hubungan silaturahmi). Dengan pernikahan akan tercipta sebuah keluarga yang akan melahirkan generasi-generasi penerus perjuangan, dakwah di jalan Allah. Dengan menikah akan menjaga kehormatan diri (baca: perzinahan). Dengan pernikahan akan menjaga diri (kedua mempelai) dari fitnah. Begitu seterusnya.
Dari sinilah Nabi Muhammad Saw juga memerintahkan agar orang yang melaksanakan upacara pernikahan juga dilengkapi dengan walimatul urs (resepsi/pesta pernikahan). Walimatul urs selain sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat kekasih yang diberikan-Nya juga sebagai penyebar kabar bahwa kedua mempelai telah sah menjadi suami-istri (baca: halal untuk melakukan seluruh kegiatan dalam rumah tangga). Harapannya, dengan adanya kabar ini, di kemudian hari tidak ada fitnah di masyarakat saat keduanya melakukan aktivitas rumah tangga.
Pada masa Rasulullah Saw, upacara pernikahan tanpa adanya walimatul urs tidak banyak yang mengetahui. Hal ini karena dalam pernikahan tidak harus banyak yang tahu, selagi syarat rukunnya sudah tercukupi, hanya dengan dua orang saksi sudah dapat dilaksanakan nikah. Sehingga dari sini besar kemungkinan masyarakat luas tidak mengetahuinya. Alhasil, saat keduanya hidup dalam satu rumah dengan aktifitasnya sebagai suami istri akan dicemooh masyarakat. Bahkan keduanya dituduh berzina. Maka dari itu dengan adanya walimatul urs sangat membantu dalam menyebarkan kabar bahwa kedua mempelai telah sah dan halal menjadi suami dan istri. Dari sinilah dapat ditarik maqasidu syariah (entri point pensyariatan) adanya walimatul urs, yaitu untuk menjaga fitnah atas aktivitas suami-istri dalam berumah tangga.
Kini di Negara Indonesia ada Kantor Urusan Agama (KUA) yang memiliki tugas salah satunya adalah mencatat adanya pernikahan. Tentu ini adalah terobosan baru yang sangat terkait dengan salah satu maqasidu syariah diadakannya walimatul urs. Pasalnya, KUA memiliki manfaat yang sangat besar dalam urusan pernikahan. Dengan dicatatnya pernikahan oleh pemerintah (baca: bukan sekedar ijab dan kabul serta dua wali) sangat menguatkan ikatan perjanjian kedua mempelai dalam menikah. Catatan ini akan sangat membantu kedua mempelai untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas sebagi suami dan istri.
Dengan adanya catatan dari pemerintah, seorang suami tidak akan dengan mudah mentelantarkan istrinya. Begitu juga dengan sang istri, tidak mudah mendurhakai suaminya. Jika terjadi pentelantaran atau pendurhakaan, keduanya dapat menuntut kepada negara. Tuntutan ini akan segera diproses karena sudah menjadi kewajiban pemerintah menindak suami atau istri yang tidak bisa melaksanakan tugasnya dalam berumah tangga. Hanya saja pemerintah juga hanya bisa memproses apabila ada catatan yang jelas.
Catatan ini juga akan berguna saat kedua mempelai mendapat fitnah melakukan perzinahan atau sejenisnya. Seorang suami atau istri kadang tidak mudah membuktikan bahwa keduanya telah melakukan upacara pernikahan saat mendapat fitnah, jika dalam pernikahannya asal terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun dalam nikah yang terkait dengan orang lain hanyalah wali dari wanita dan kedua saksi. Padahal keduanya tidak mungkin akan selamanya berbaur dengan kedua mempelai. Kadang ada yang meninggal atau pindah tempat. Bahkan bisa juga yang terjadi kedua mempelai yang berpindah tempat sehingga sulit bagi keduanya menemukan para saksi dan/atau wali dari perempuan. Di sinilah fitnah tidak akan terselesaikan jika tiadanya pencatatan dari pemerintah atau sejenisnya. Mereka tidak bisa menunjukkan diri bahwa keduanya telah sah dan halal menjadi suami dan istri.
Kaitan dengan ini, upacara pernikahan hendaklah dicatatkan pada pemerintah. Nikah siri memeng dalam agama sudah sah, namum banyak madlarat yang masih perlu diperhatikan. Apalagi di negara kita, saat terjadi perselisihan, sering kali para saksi tidak lagi menjadi prioritas. Kaitan dengan nikah, catatan pemerintah dengan adanya saksi lebih diunggulkan catatan pemerintah. Saat ada fitnah kedua mempelaoi melakukan perzinahan, dengan adanya catatan dari pemerintah bahwa keduanya telah melangsungkan ijab dan kabul, permasalahan secara langsung terselesaikan. Namun demikian, saat permasalahan ini timbul dan yang ada hanya saksi dan juga wali dari perempuan yang mengatakan bahwa keduanya telah melangsungkan ijab dan kabul, masyarakat tak mudah mempercayainya.
Dan tentu Rasulullah Muhammad Saw tak mencintai hal-hal yang semacam ini. Rasulullah tentu memberikan apresiasi besar kepada pemerintah dengan ide cemerlangnya mencatat adanya pernikahan. Sehingga dirinya juga akan mencintai kepada umatnya yang melakukan pernikahan lengkap dengan melakukan walimatul urs juga pencatatan dari pemerintah. Dan bagaimana dengan kita, akankah kita mencintai rasul di hari miladnya ini? Tanpa undang-undang yang mempidana pelaku nikah siri pun, mari bersama hindari nikah siri. Toh tidak sulit mencatatkan pernikahan di pemerintah. Wallahu a’lam