Sabtu, 28 Februari 2009

Fatwa Haram Rokok, RUU PDTTK dan Nasib Petani Tembakau

Oleh ANTON PRASETYO

Diterbitkan di SKH Harian Jogja

Sidang Ijtima’ Ulama Fatwa III Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat sudah berlangsung satu bulan yang lalu. Tepatnya tanggal 23-26 Januari 2009 sidang dilaksanan.
Hasil sidang Ijtima’ ini salah satunya adalah memutuskan fatwa haram merokok hanya berlaku bagi wanita hamil, anak-anak, dan merokok di tempat umum. Keputusan ini disambut gembira oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Ikatan Ahli Kesehatan. Sejak awal mereka sudah mendatangi kantor MUI guna membicarakan hukum merokok dengan harapan agar segera menetapkan fatwa haramnya rokok. Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengharapkan angka perokok di kalangan anak akan terminimalisir dengan ditetapkannya fatwa haram ini.
Dukungan atas fatwa keharaman merokok bagi anak dan remaja juga mendapat sambutan hangat dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Alasan yang ditunjukkan adalah bahwa merokok mempunyai dampak negatif lebih tinggi dibandingkan dengan dampak positifnya, bahkan tidak ada dampak positifnya. Di Jakarta Ketua Umum IPNU Idy Muzayyad berkata bahwa merokok jelas-jelas membawa mudarat dan kerusakan terutama bagi remaja dan sama sekali tidak ada manfaat dan kebaikan yang didapatkan dari perbuatan merokok itu.
Pun begitu terdapat kesimpangsiuran antara keputusan MUI dan para tokoh penting dalam agama Islam. Meski MUI telah memfatwakan keharaman merokok namun Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi (meskipun menghargai hasil Ijtima’ tersebut) tetap menyayangkan keputusan fatwa keharaman rokok. Menurutnya, semenjak dulu NU mempunyai pendapat bahwa merokok hanya diberi fatwakan makruh, tidak sampai haram.
Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) yang merupakan kumpulan 150 pondok pesantren (ponpes) se-Jawa Timur dalam Bahtsul Masail-nya menjadi salah satu penguat apa yang dikatakan Hasyim. Bahtsul Masail atau forum pembahasan masalah di Ponpes Mamba'ul Hikam Desa Mantenan, Udanawu, Kabupaten Blitar, Jawa Timur menolak fatwa MUI tentang keharaman merokok.
Abdul Manan sebagai perumus Bahtsul Masail Komisi C, dari ponpes Salafiyah Al Falah Ploso, Kediri menjelaskan bahwa kultur sosial dan ekonomi menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum haram atau tidaknya merokok. Menurutnya, dengan adanya rokok berarti terdapat lapangan pekerjaan. Selain itu secara kultur sosio, di tanah Jawa merokok adalah sudah sewajarnya dan menjadi kebiasaan bagi kaum laki-laki. Sehingga dari adanya fatwa haramnya rokok ini akan membingungkan masyarakat.
Perdebatan kedua belah pihak ini sangatlah pelik dan sukar dicari jalan keluarnya. Antara MUI dan para ulama NU dari pesantren mempunyai dasar-dasar tersendiri. Yang pasti dalam penentuan keharaman atau tidaknya dalam merokok adalah mencari perbandingan antara kemaslahatan adanya rokok dan madzaratnya. Jika lebih banyak manfaatnya maka secara otomatis rokok tidak haram dan jika lebih banyak nilai madzaratnya maka secara otomatis pula rokok hukum merokok adalah haram.
Petani tembakau
Terlepas dalam merokok dapat mengganggu kesehatan, merokok menjadi tradisi kaum laki-laki termasuk kiai di ponpes dan lain sebagainya, rokok juga erat kaitannya dengan sumber penghasilan penduduk petani tembakau. Para petani tembakau dipastikan akan kehilangan pekerjaan tetapnya jika rokok benar-benar diharamkan dan tidak ada pabrik yang memproduksi rokok lagi.
Jika fatwa keharaman rokok benar-benar dilaksanakan berarti menyumbat produksi pabrik rokok. Jika pabrik rokok tersumbat dalam pemroduksiannya berarti juga mengurangi karyawan yang menggarap pembuatan rokok. Kaitannya dengan petani, pabrik rokok tidak lagi membeli tembakau sebagaimana sebelumnya. Akhirnya harga tembakau akan merosot drastis dikarenakan banyaknya tembakau hasil panen dan minimnya pabrik rokok yang membelinya. Hukum ekonomi mengatakan, jika barang langka maka harga akan tinggi dan jika barang melimpah maka harga akan turun.
Parahnya, kondisi ini akan menjadikan para petani kehilangan lapangan pekerjaan. Mereka yang setiap harinya sudah nyaman dengan pekerjaannya sebagai petani tembakau sebagai sumber pokok perekonomiannya, dengan adanya fatwa ini mereka harus berhenti. Jika tidak, sama halnya dengan berusaha bukan untuk mencari untung melainkan untuk bunuh diri karena dengan mereka tetap menanam tembakau sementara saat panen tidak ada lagi yang membelinya, sama halnya dengan merusak jalannya perekonomian keluarga dan jika perekonomian keluarga sudah mati, maka akan mati pulalah keluarga tersebut.
Tidak heran jika dalam menyikapi permasalahan pelik ini terdapat kegelisahan di berbagai kalangan. Termasuk juga fatwa keharaman merokok yang dikhususkan bagi wanita hamil, anak-anak, dan merokok di tempat umum menimbulkan permasalahan tersendiri di tingkat petani. Di Jawa Tengah misalnya, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Brata mengungkapkan kegelisahan nasib petani tembakau setelah difatwakan keharaman merokok di tempat umum. Dirinya mengharapkan MUI memberikan kejelasan mengenai tempat umum yang dilarang untuk merokok. Menurut Wisnu, Karena jika kita keluar rumah, berada di jalan atau lapangan sudah masuk tempat umum.
Kegelisahan peteni kian hari semakin dirasakan. Apalagi saat ini pemerintah juga sedang menggodog RUU Pengendalian Dampak Tembakau Terhadap Kesehatan (PDTTK). Tentu RUU ini akan semakin mempersempit peluang kesejahteraan petani tembakau. Apalagi sekarang PT Bentoel yang notabene sebagai pabrik rokok terbesar di Indonesia sudah menyetop pembelian tembakau dari wilayah Temanggung Jawa Tengah. Dengan adanya realita semacam ini tidak mustahil jika tanggal Senin (16/2) ribuan petani tembakau berunjuk rasa di Alun-alun Temanggung. Bahkan unjuk rasa tersebut dihadiri juga perwakilan petani tembakau dari Kabupaten Magelang, Wonosobo, Garut Jawa Barat, dan Purworejo dengan ancaman akan membaikot pemilu dan tidak akan membayar pajak jika suaranya tidak dihiraukan pemerintah.
***
Uraian singkat ini setidaknya dapat memberikan gambaran betapa luasnya cakupan yang harus dikaji untuk menetapkan sebuah kebijakan, termasuk hukum dalam fatwa. Untuk menentukan keharaman rokok tidak cukup melihat rokok dapat mengganggu kesehatan sebagaimana yang diperingatkan pemerintah dalam setiap bungkus rokok, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Selain pertimbangan dampak langsung dari merokok juga perlu meneliti bagaimana kondisi pabrik hingga petani.
Hemat penulis, bisa saja rokok difatwakan haram jika seluruh permasalahan terselesaikan. Adanya perokok aktif yang sangat menggantungkan hidupnya pada rokok harus ditumpas terlebih dahulu. Di tingkat petani tembakau dan pekerja yang terkait dengan rokok harus diberikan solusi lain jika harus meninggalkan lapangan pekerjaannya. Dan sudahakah ragam permasalahan ini diselesaikan sebelum adanya fatwa? Atau belum sempat terfikirkan sama sekali? Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar