Sabtu, 28 Februari 2009

Geliat Caleg Jelang Pemilu 2009

diterbitkan di koran Merapi
Oleh ANTON PRASETYO
Aroma perhelatan pesta demokrasi 2009 kian hari kian menyengat. Calon-calon pemimpin bangsa mulai nampang di layar televisi hingga ngebaki halaman surat kabar. Visi serta misi diperlihatkan untuk menarik simpati pemirsa. Bagi yang pandai mengolah kata dan berkantong tebal, dipastikan merekalah calon sang juara.
Kendati demikian, inikah calon pemimpin yang akan kita jadikan sopir bagi kendaraan yang bernama Indonesia? Mampukah sopir berkantong tebal dan bermuka manis menyopir sekaligus membenahi awak kendaraan Indonesia yang sudah rusak?
Kini Indonesia bukanlah sebuah kendaraan yang waras sehingga siapapun yang menyopirnya dapat berjalan dengan lancar. Dinamo serta motor penggerak mesin kendaraan Indonesia sudah bobrok. Tentu tanpa seorang yang terampil dan mempunyai keahlian di bidang ‘otomotif’, tidak mungkin akan bisa menjalankan roda kendaraannya. Alhsil, kendaraan negara Indonesia akan terus mengalami kemandegan dan atau bahkan mundur karena jalannya menanjak dan ada faktor ekstern lain yang menggandolinya.
Geliat parpol dan/atau caleg
Harus mengelus dada tatkala penulis berkunjung di beberapa kecamatan di daerah Gunung Kidul dan sebagaian Bantul. Bagi penulis, area kota Yogyakarta dan jalan-jalan lajur utama menuju kabupaten serta perempatan dan pertigaan jalan raya, menjadi latar pemasangan gambar calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) tidaklah mengapa. Namun, jika di gang gang jalan masuk perkampungan hingga area persawahan daerah-daerah pelosok desa terdapat gambar parpol dan/atau caleg yang melimpah, terkesan berlebihan menjadikan duri dalam hati tersendiri bagi penulis.
Betapa tidak, kala masyarakat tidak tahu menahu dunia perpolitikan dan tidak mengenal apa sebenarnya parpol serta siapa sebenarnya caleg yang gambarnya terpampang di setiap tepi jalan, mereka terus dicekoki dengan kemunculan berbagai parpol dan/atau caleg yang sebenarnya hanya memperlihatkan dirinya secara setengah-setangah. Dikata setengah-setengah dikarenakan apa yang mereka sampaikan kepada warga hanyalah sesuatu yang bernada baik.
Akibatnya masyarakat nantinya dalam mengikuti pemilihan umum (pemilu) 2009 bukan berdasar pilihan yang meskinya ia pilih. Jika yang seharunya mereka pilih adalah parpol dan/atau caleg yang dimungkinkan akan dapat menyetir kendaraan bangsa Indonesia, namun karena ketidaktahuannya, maka masyarakat memilih siapa yang paling dikenalnya melalui gambar-gambar yang terpampang di sekitar tempat ia berdomisili.
Parahnya, masyarakat desa gampang sekali terpengaruh karena sedikit bujukan yang mengandung unsur simpatik kepadanya. Pengaspalan jalan, pengadaan fasilitas olah raga, hingga pemberian barang-barang remes semisal daging kurban menjadi metode empuk para parpol dan/atau caleg dalam menghimpun massanya.
Memang kondisi ini diakibatkan parpol dan/atau caleg tidak ingin membuang kesempatan emas (baca: masa-masa kampanye) yang diberikan komisi pemilihan umum (KPU) yang hanya 268 hari. Bagi parpol dan/atau caleg serta pendukungnya tanggal 12 Juli 2008 hingga 5 April 2009 adalah hari-hari ‘haram’ untuk berleha-leha. Saat itulah mereka berkampanye, bergerilnya mencari simpatisan kepada masyarakat sebanyak-banyaknya agar mau menjadi pendukung dan atau sekedar menjadi memilihnya pada pelaksanaan pemilu mendatang.
Siapa calon pemimpinmu?
Kendati pihak parpol dan/atau caleg menginginkan masa sebanyak-banyaknya sehingga pada pemilu 2009 nanti menjadi parpol dan/atau caleg paling unggul dalam perolehan suara namun pembodohan terhadap masyarakat hendanya dihindari. Hanya saja serasa tidak mungkin jika ketidakaadaan pembodohan kepada masyarakat ini diterapkan kepada parpol dan/atau caleg. Pasalnya, mereka membutuhka massa sebanyak-banyaknnyanya sehingga sangat berkebalikan jika harus mengindahkan nilai-nilai tersebut.
Tidak hanya itu, untuk mendapatkan massa sebanyak-banyaknya cara-cara yang dilarang dalam aturan main berkampanye pun dilanggar. Dalam berkampanye mempunyai aturan tersendiri, termasuk tempat-tempat yang diperbolehkan untuk dipasangi atribut parpol dan/atau caleg serta tempat yang tidak diperbolehkannya. Sedikit menengok pada UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut diterangkan bahwa tempat pendidikan dilarang untuk ajang kampanye, termasuk dalam bentuk pemasangan atribut parpol dan/atau caleg.
Nah dari sinilah saatnya pihak pemerintah harus turun tangan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebagai bekal dalam pelaksanaannya. Pertama, pemerintah harus menindak tegas parpol dan/atau caleg yang melakukan pelanggaran dalam kampanye. Kedua, untuk mengurangi pembodohan kepada masyarakat awam, pemerintah harus bisa memberikan informasi semaksimal mungkin daftar sekaligus gambaran umum secara jujur terhadap parpol dan/atau caleg kepada masyarakat.
Pada pesta demokrasi 2009 kali ini pemerintah terkesan hanya menekankan pemberitahuan informasi perubahan cara melakukan pilihan, yaitu dari ‘coblosan’ diubah menjadi ‘contrengan’ atau ‘contengan’. Jika saja pemerintah mampu melakukan terobosan kedua, memberikan informasi gambaran umum seluruh parpol dan/atau parpol yang mengikuti pemilu 2009 mendatang dapat dipastikan pembodohan kepada masyarakat awam akan berkurang drastis. Masyarakat pun akan memilih calon pemimpinnya sesuai dengan kata hatinya, bukan sekedar memilih ‘ngawur’ karena geliat parpol dan/atau caleg yang sebenarnya tidak merepresentasikan dirinya. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar