Minggu, 07 Desember 2008

Perbedaan (PKB) Adalah Rahmat?

KEDAULATAN RAKYAT
Perbedaan (PKB) Adalah Rahmat?
28/04/2008 11:41:26 MENDISKUSIKAN Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak bisa lepas dari pembahasan Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama (Ormas NU). Bagaimanapun keberadaan PKB lahir dari Ormas NU. Selama ini PKB merupakan partai kebanggaan warga NU. Keberadaan Ketua Dewan Syuro yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di negara Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid atau sering disebut Gus Dur sangat besar pengaruhnya bagi warga NU. Tidak sedikit yang menyatakan diri ‘mati urip manut Gus Dur’. Pernyataan semacam menunjukkan betapa besar simpati warga NU terhadap ‘pemimpinnya’. Pernyataan tersebut bukan hanya berada pada kalangan warga tingkat bawah saja yang notabene tidak alim atau mempunyai banyak ilmu serta sukanya anut grubyuk. Lebih dari itu, banyak para ulama serta kiai-kiai besar yang mempunyai pandangan hidup sebagaimana pernyataan di atas. Hanya saja mereka tidak terang-terangan menyatakan ‘mati urip manut Gus Dur’. Namun dengan pendiriannya yang tetap mengikuti Gus Dur tanpa harus banyak berpikir (sebagaimana seorang muslim harus mengimani Allah dan utusannya) merupakan satu tanda bahwa orang tersebut pada hakikatnya sama dengan menyatakan dengan shorih pernyataan ‘mati urip manut Gus Dur’. Bermula dari sini, keberadaan PKB yang salah satu tokoh utamanya adalah Gus Dur mendapat respons baik dari masyarakat Indonesia. Selama mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) hasil yang diraih PKB tidak pernah mengecewakan, bahkan termasuk partai nomor atas. Hal ini tidak terlepas dari jumlah warga NU yang persentasenya lebih dari 60 persen jumlah penduduk Indonesia. Sementara, mereka juga sami’na waatokna kepada pemimpin cukup kuat. Kendati demikian, sangat disayangkan. Belakangan eksistensi PKB memudar. Terbukti di sana-sini terdapat banyak polemik. Kemunculan partai baru Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) menjadi satu polemik tersendiri. Dengan keberadaan PKNU berarti massa PKB akan terkurangi. Warga NU adalah sasaran utama PKB. Sementara PKNU juga sangat mengharapkan massa dari warga NU. Sehingga dari sini jika PKB ingin tetap mempunyai banyak massa, kerja keras harus dilaksanakan. Apalagi ‘katanya’ back up berdirinya PKNU adalah para ulama khos. Hal ini sangat mempengaruhi warga NU yang tadinya memihak PKB berbondong-bondong ke PKNU. Tidak hanya itu, polemik juga terjadi pada intern tubuh PKB. Konflik antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar merupakan realita yang dapat mengombang-ambingkan nasib PKB sendiri. Benar apa yang ditulis Hamdan Daulay, Dosen UIN Sunan Kalijaga dan kandidat Doktor Ilmu Politik UGM Yogyakarta. Kalau dibiarkan fitnah menyebar di tubuh PKB maka cepat atau lambat akan membuat PKB semakin rapuh dan bahkan hancur (Kedaulatan Rakyat 23/4/2008). Keterombang-ambingan PKB juga semakin parah saat Gus Dur sebagai tokoh panutan warga NU, di sisi lain banyak kiai terkemuka dan orang-orang besar di PKB mendukung Muhaimin Iskandar untuk tidak mundur sebagai Ketua Dewan Tanfidz DPP PKB. Ulama seniman yang juga termasuk deklarator PKB, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Niam Salim (Ketua DPP PKB), KH Ha syim Muzadi (Ketua PBNU), Muhith Muzadi dan KH Mahfud Rizwan, salah seorang kawan karib Gus Dur saat menuntut ilmu di Baghdad, Irak. Meskipun ada warga NU yang kesetiaannya terhadap Gus Dur sangat besar, namun dengan melihat fenomena semacam dalam benaknya pasti juga terdapat kebimbangan. Di satu sisi Gus Dur merupakan orang panutan. Namun demikian warga NU juga tidak mengesampingkan keberadaan kiai-kiai besar NU semacam Gus Mus. Mereka juga sebagai orang-orang yang diikuti warga NU. Dengan pecahnya pandangan tokoh-tokoh besar PKB maka akan pecah pula pandangan massa PKB. Bagi PKB perpecahan ini masih menguntungkan. Namun jika massanya tidak lagi pecah, namun lari meninggalkan PKB karena kebingungannya, merupakan realita yang perlu disayangkan. Perbedaan Adalah Rahmat? Adalah pertanyaan besar jika menilik polemik dalam tubuh PKB apakah sebuah rahmat atau bukan. Tentu dengan adanya polemik ini di satu sisi akan me nimbulkan kebimbangan yang justru menjadikan PKB semakin lemah. Hal ini sebagaimana terurai di atas. Namun begitu tidak dapat dipungkiri, dengan adanya polemik ini juga dapat mendewasakan keberadaan PKB. PKB akan dapat pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran untuk berbenah diri dan menjadi pegangan dalam perjalanannya sebagai partai politik di masa mendatang. Hanya saja yang perlu diperhatikan sekarang adalah: benarkah polemik (perbedaan) yang ada dalam tubuh PKB lebih besar manfaatnya (rahmat) dibandingkan dengan madharatnya? Jika memang konflik antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar dimungkinkan akan membawa kemajuan PKB, tentu hal ini menjadi rahmat bagi PKB. Namun jika sebaliknya, dengan adanya konflik ini semakin melemahkan PKB berarti rahmat tidak terdapat di dalamnya. Analisis secara kasar, dimungkinkan dengan adanya konflik ini bagi orang-orang besar (baca; pembawa panji PKB) yang banyak berpikir untuk kebaikan PKB akan semakin cerdas dan dapat menjadi ikon baik bagi PKB di masa mendatang. Namun demikian, bagi massa PKB, karena mereka hanya anut grubyuk dan sami’na waatokna terhadap pimpinan, mereka akan semakin terombang-ambing dalam kebingungan dan tidak mustahil pada akhirnya lari dari PKB. Itulah kiranya yang perlu dipertimbangkan. Warga NU dan massa PKB yang berada di pedesaan tidak begitu paham bagaimana dunia perpolitikan. Jika para pemimpinnya saja sudah saling bermain politik yang justru membingungkan pengikutnya, tentu dampak negatifnya tidak mungkin dihindari. Wallahu a’lam. q - m. (3638-2008). *) Anton Prasetyo, Koordinator Litbang Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M), sedang belajar di Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar