Minggu, 07 Desember 2008

KOMPAS Cetak : Di Mana Ada Pupuk?

KOMPAS
Di Mana Ada Pupuk?
Selasa, 2 Desember 2008 | 11:44 WIB

Oleh Anton Prasetyo

Teman, benarkah kita mempunyai dinas pertanian? Di manakah peran mereka? Itulah pesan pendek yang penulis terima pekan lalu dari seorang teman. Penulis sendiri tidak tahu apa maksud pesan tersebut dan kebetulan tidak menjawabnya. Namun, penulis dapat menebak, inti dari pesan pendek itu peran dinas pertanian belum kentara.

Jika maksud pesan pendek (SMS) tadi adalah benar, sesuai dengan prediksi, penulis membenarkannya. Pasalnya, kegetiran kaum petani tidak kunjung usai. Mulai dari menggarap lahan hingga panen serasa tidak pernah mendapat perhatian dari dinas pertanian. Padahal, petani adalah orang yang berperan besar bagi kelangsungan hidup seluruh masyarakat. Tanpa adanya petani, tidak mungkin kelangsungan hidup akan terlaksana dengan lancar.

Kegetiran yang dilanda petani saat ini adalah terkait dengan pemenuhan pupuk untuk tanamannya. Di masa-masa memupuk kali ini, petani kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga standar. Di Bantul harga pupuk mencapai Rp 90.000 per 50 kilogram. Padahal, harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah adalah seharga Rp 60.000.

Harga ini sangat jauh antara harga ideal dengan realita di lapangan. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di Bantul saja. Berdasarkan liputan Metro TV akhir bulan lalu, di Riau harga pupuk urea naik dari Rp 2.340 per kilogram menjadi Rp 6.000 per kilogram. Pupuk TSP naik dari Rp 2.848 menjadi Rp 8.500 per kilogram.

Lebih parah lagi, pekan lalu penulis mendengar keluhan beberapa petani saat pulang kampung. Petani di daerah kelahiran penulis, yaitu Dusun Menggoran, Bleberan, Playen, Gunung Kidul, mengeluhkan tidak dapat memupuk tanamannya. Padahal, masa-masa tersebut adalah masa-masa tanaman harus dipupuk pertama kali setelah tanam. Para petani Dusun Menggoran ini tidak hanya mempermasalahkan harga pupuk yang melambung. Di Pasar Playen yang notabene pasar satu kecamatan dan biasa menyediakan pupuk, tahun ini tidak didapatinya.

Dari keterangan beberapa petani yang sempat penulis temui, meskipun di Pasar Playen, yang setiap tahun selalu menyediakan kebutuhan pertanian termasuk pupuk dan kenyataannya sekarang tidak, ada orang-orang yang datang ke Dusun Menggoran dengan menawarkan pupuk untuk dijual.

Mereka seakan memberikan pertolongan dan memanjakan petani. Yang mereka tawarkan, selain membawa pupuk ke rumah tempat petani tinggal, juga memberikan kesempatan kepada para petani untuk dapat menggunakan pupuk tanpa harus membayarnya kontan. Petani diberi kelonggaran untuk membayar pupuk hingga panen tiba.

Kendati demikian, menurut para petani, yang menjadi persoalan adalah harga yang dipatok para penjual pupuk sangat tinggi. Padahal, petani tidak mempunyai pilihan lain untuk mendapatkan pupuk selain membeli kepada para penjual tersebut. Pasar Playen yang selama ini menjadi langganan petani dalam memenuhi seluruh kebutuhan pertaniannya, saat ini tidak.

Para petani ini juga tidak begitu berpengalaman untuk mencari kebutuhan pertaniannya hingga ke luar daerah. Akhirnya, pilihan salah satunya adalah, meskipun dengan berat hati, tetap membeli kepada penjual yang datang tersebut.

Adanya permainan

Praduga kasar, saat ini tidak mungkin ada orang yang baik sebaik yang dilakukan penjual pupuk di atas jika tanpa tujuan tertentu. Selain mereka telah mengantarkan pupuk sampai rumah petani, mereka juga memberikan kesempatan kepada petani untuk menunda pembayaran hingga masa panen tiba. Dalam kasus ini, pasti terdapat permainan yang akhirnya berdampak negatif pada petani.

Jika persoalan ini dikaitkan dengan pemerintah, hingga saat ini pemerintah tidak kurang-kurangnya dalam membela petani. Pemerintah terus memerhatikan petani. Beragam media massa selalu mewartakan bahwa pemerintah menjamin petani tidak akan kesulitan mendapatkan benih, pupuk, obat, dan seluruh kebutuhan pertanian lainnya. Pemerintah juga memberikan standar maksimal penjualan barang-barang tersebut. Selain itu, pemerintah juga memerhatikan harga jual panen yang dihasilkan para petani.

Namun, semua hanyalah sampai pada teori. Secara praktis di lapangan, petani tetap kelabakan memenuhi segala kebutuhan pertaniannya. Mereka selain harus pontang-panting mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya juga harus membeli dengan harga yang mahal. Sementara itu, saat musim panen tiba, harga selalu anjlok.

Ketidaksinkronan antara harapan pemerintah untuk menyejahterakan petani dan realita yang selalu menunjukkan petani selalu termarjinalkan dapat dipastikan ada faktor yang mendalanginya. Keberadaan orang yang ingin menang sendiri, menimbun kebutuhan pertanian, dan mempermainkan harga adalah faktor utama yang menyebabkan kondisi kaum petani selalu tidak sesuai dengan harapan.

Saat ini, dengan modal uang banyak dan sedikit pengalaman, siapa pun dapat membeli dan menimbun bahan-bahan pertanian. Akibatnya, di pasaran bebas, barang-barang tersebut menjadi tidak ada. Saat-saat inilah petani merasa kebingungan. Mereka memerlukan barang-barang pertanian, tetapi kenyataannya di pasar yang biasa menyediakan kebutuhan pertaniannya, tidak lagi menyediakan. Pada saat seperti inilah pemilik penimbun barang-barang pertanian dapat mengeluarkan timbunannya kepada petani. Mereka mematok harga berapa pun karena tidak ada pilihan lain petani akan mengikutinya.

Penulis tidak dapat membayangkan, jika nasib petani terus begini. Dalam jangka satu atau dua tahun mungkin mereka masih bisa menerima keadaan ini. Namun, tahun-tahun berikutnya, mereka pasti akan merasakan kegetiran hidup yang luar biasa. Selain kesehariannya harus terkena terik matahari di tengah sawah, pikirannya juga tidak tenang karena apa yang diusahakan belum tentu mendapat untung.

Untuk itu, pemerintah hendaknya terus meningkatkan perhatian kepada nasib kaum petani. Dengan cara merealisasikan program- programnya untuk melindungi petani dari ketidakkekurangan semua yang dibutuhkan dalam pertanian, termasuk melindungi harga. Langkah ini, di antaranya memberikan sanksi kepada penimbun barang-barang pertanian yang dengan sengaja bermaksud mempermainkan harga pemasaran. Wallahu a'lam.

Anton Prasetyo Koordinator Litbang Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar