Sabtu, 10 April 2010

Filosofi Kenduri dalam Ritual 100 Hari

Opini Kedaulatan Rakyat, 9 April 2010

ANTON PRASETYO

Upacara peringatan 100 hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tak hanya dilakukan oleh ahli warisnya. Beragam komponen masyarakat, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat kelas kakap, termasuk pemerintah memperingatinya. Beraneka bentuk kegiatan pun digelar dalam rangka mengenangnya. Dari kegiatan pertunjukan drama dan seni, refleksi, hingga kenduri di desa-desa dilakukan bulan April 2010 ini.
Menarik saat membahas kenduri peringatan 100 hari wafatnya orang Islam. Ada kelompok yang mengatakan bahwa kegiatan ini adalah sebuah ritual ibadah, namun ada pula yang mengatakannya sebagai bid’ah, bahkan mengafirkan pelakunya. Kendati demikian, dalam sketsa singkat ini, penulis tidak akan membahas “persengketaan ideologi’ kedua kelompok tersebut. Ada hal menarik yang (kiranya) tak kalah penting untuk dibahas daripada persengketaan keduanya, yaitu makna atau filosofi ritual kenduri yang ada pada peringatan 7, 40, 100 hingga 1000 hari orang meninggal dunia.
Mengapa membahas kenduri penting? Ritual bernapaskan tradisional ini sudah menjadi heritage (baca: warisan budaya) yang mentradisi di sebagian kelompok masyarakat semenjak agama Islam diperkenalkan di wilayah Nusantara. Konon, kenduri ini adalah sebuah ritual yang sudah mengakar sebagai tradisi di berbagai masyarakat, semenjak agama Islam belum masuk. Dalam pada itulah para wali yang notabene terkenal dengan dakwahnya yang tolerantif selalu ingin memasukkan ajaran agama Islam tanpa harus “melukai” hati masyarakat setempat. Maka dari itulah para wali terus berupaya menggunakan akal kreatifnya untuk mengenalkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat setempat dengan cara yang sangat fleksibel sehingga bisa diterima dengan baik.
Sekilas ritual semacam kenduri adalah sebuah ritual yang menyimpang dari agama. Bagaimana tidak dalam kenduri seakan menghamburkan nasi dan berbagai jenis makanan. Apalagi harus mensyaratkan serangkaian jenis makanan untuk dikatakan sebagai ritual kenduri. Dalam kenduri tak sekadar ada nasi, sayur dan lauk seadanya, namun memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri. Banyak macam lauk yang harus dipenuhi dalam ritual kenduri. Hanya saja, oleh para wali, semuanya diberikan nilai/filosofi sehingga semuanya menjadi amal ibadah.
Di antara hak yang harus ada dalam kenduri adalah ingkung. Ingkung adalah ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental). Di samping itu, jago tersebut dibuat menelikung sebagaimana orang duduk tasyahud (tahiyat dalam salat). Kondisi ini merupakan simbol penyembahan makhluk kepada sang Khalik (Tuhan) dengan khusuk (menekung) dan hati yang tenang (wening). Upaya untuk meraih ketenangan hati dapat dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar atau dalam bahasa Jawa sering dikata ngereh rasa.
Keberadaan ayam jago dalam ritual kenduri juga memiliki makna agar makhluk selalu menyembelih (baca: menghilangkan) beragam sifat buruk yang banyak dimiliki ayam jago. Sebagaimana yang kita tahu, ayam jago juga selalu sombong, congkak, kalau berkokok (berbicara) selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri, tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri dan lain sebagainya. Dengan adanya penyembelihan ayam jago ini diharapkan manusia bisa menghindari seluruh sifat-sifat jelek yang menjadi penyakit hati tersebut. Dengan begitu, kedekatan manusia kepada Khalik dan makhluk-Nya akan terus terjaga dan semakin erat.
Di samping ayam jago, terdapat juga dalam ritual kenduri adalah telur yang direbus pindang yang disuguhkan utuh beserta cangkangnya. Telur ini memiliki filosofi yang sangat dalam, yaitu manusia harus memiliki etos kerja yang tinggi. Dalam telur rebus pindang yang saat disuguhkan masih utuh dengan cangkangnya, berarti orang yang akan menikmatinya harus mengupasnya terlebih dahulu dengan upaya yang hati-hati dan penuh konsentrasi. Artinya, setiap pekerjaan manusia meskinya harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya sehingga memperoleh hasil akhir yang maksimal.
Dalam piwulang Jawa terdapat ajaran , yang dalam bahasa kita, kira-kira bisa diartikan “etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan dan diselesaikan dengan tuntas”.
Terlebih dari itu, telur juga memiliki filosofi bahwa makhluk (baca: manusia) diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama. Perbedaan yang dianggap oleh Tuhan hanyalah tingkat ketakwaan kepada-Nya. Di samping itu juga bagaimana dirinya bersosial, sudah bisakah shalik kepada sesama? Ada juga lauk dalam ritual kenduri berupa ikan lele dan ikan teri. Ikan lele sebagai simbol bahwa manusia harus tabah dalam mengarungi kehidupannya. Sementara ikan teri sebagai simbol bahwa manusia meskinya hidup bersama, saling gotong-royong dan kerja sama.
Ada lagi dalam ritual kenduri, berupa sayuran dan urab-uraban. Di antara sayuran yang digunakan adalah kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau sering disebut urap. Beragam jenis sayuran tersebut memiliki makna tersendiri.
Singkatnya, seluruh yang ada pada komponen kenduri memiliki filosofi tersendiri, yang kesemuanya adalah untuk membentuk manusia semakin saleh kepada Tuhannya (vertikal) dan saleh kepada sesama makhluk (horizontal) atau kesalehan sosial. Maka dari itu, melalui mimbar peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur ini, jangan sampai ritual agung ini menjadi muspro, hanya sekadar wahana mengenang sang guru bangsa ini tanpa memiliki nilai yang dapat memajukan tingkat kesalehan kita. Kenduri 100 hari harus bisa meningkatkan kesalehan kita kepada Tuhan juga kepada sesama. Wallahu a’lam. q - g. (630-2010).
*) Anton Prasetyo, Ketua Jam’iyyah Qurra’ wal Huffadz PP Nurul Ummah Yogyakarta.