Jumat, 12 Maret 2010

Refleksi Pesta (Baca) Buku Jogja?

Refleksi Pesta (Baca) Buku Jogja?

Oleh: Anton Prasetyo
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 13 Maret 2010

Pada Rabu-Senin (10-15 Maret) insan perbukuan Yogyakarta menggelar Pesta Buku Jogja (PJB) di gedung Jogja Expo Center (JEC) Janti. Langkah ini cukup menggembirakan. Nama Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan akan semakin harum. PJB kali ini dipastikan menjadi salah satu sarana peningkatan kualitas intelektual Sumber Daya Manusia (SDM) melalui baca buku.
Pada pembukaan PJB lalu (atau lihat warta KR, 11/3/2010), Idham Samawi menuturkan bahwa cerdas tanpa buku adalah omong kosong. Artinya, seberapa besar kecerdasan seseorang, tanpa digunakan untuk membaca, maka tiada manfaatnya. Jika toh seseorang memiliki kemampuan intelektual tinggi, tanpa dirinya gemar membaca, pasti ada kerumpangan di sana-sini sehingga akan menjadi kekurangan pada diri seseorang tersebut.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimanakah langkah selanjutnya setelah para insan perbukuan mengupayaan penyelenggaraan PJB guna mempermudah dan mengenalkan masyarakat terhadap buku? Adakah langkah brilian ini akan diikuti dengan langkah-langkah yang membanggakan atau mengalami kemandegan sampai di sini? PJB yang kerap kali digelar meskinya menjadikan animo membaca masyarakat semakin meningkat.
Terlepas di rumah dan kamar masing-masing, hingga saat ini di ruang publik sangat jarang (dan bahkan tidak pernah) terlihat masyarakat Yogyakarta yang membaca buku. Di bus atau saat membonceng motor para siswa dan mahasiswa lebih asyik bermain SMS dari pada membaca buku. Apalagi saat menunggu teman, menunggu angkot dan lain sebagainya, sangat jarang dari mereka yang memegang buku. Bahkan para dosen pun tak jarang yang tidak akrab dengan buku. Waktu luang mereka digunakan untuk mengobrol bersama rekan kerjanya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan atau peningkatan kualitas diri.
Dari sinilah terjadi kesenjangan yang perlu mendapat perhatian. Pada saat pesta buku, ramai pengunjung dengan membeli buku, namun pada kenyataannya, di lapangan tidak banyak yang memanfaatkan buku tersebut untuk dibaca. Memang tidak mudah untuk mengubah tradisi masyarakat dari tidak pernah memabaca buku menjadi gemar membaca buku. Apalagi kepada orang tua yang tidak banyak bercita-cita lagi. Mereka lebih banyak memikirkan kondisi perekonomian diri dan keluarganya dari pada memikirkan kualitas intelektual atau menyeluruhnya kualitas SDM.
Diantara yang dapat dilakukan adalah memberikan semangat kepada siswa dan mahasiswa untuk mentradisikan membaca. Mereka dapat dirangsang dengan cita-citanya yang akan ditujunya. Mereka tidak bisa mendapatkan apa yang dicita-citakan tanpa adanya bekerja keras dan rajin belajar. Hanya saja untuk mengarahkan mereka juga sangat sulit. Perkembangan teknologi di satu sisi memang memanjakan generasi muda untuk belajar. Namun di samping itu, perkembangan teknologi juga menjadikan generasi muda tergiur menjadikannya sebagai media game (permainan). Selain HP untuk SMS pada laptop juga sangat banyak permainan geme-nya. Semuanya sangat melenakan hingga lupa dan tiada lagi waktu untuk membaca. Wallahu a’lam