Selasa, 30 Maret 2010

Komersialisasi Tradisi NU

Komersialisasi Tradisi NU

JOGLOSEMAR, 26/03/2010 09:00 WIB

OLEH: Anton Prasetyo

Menapaki muktamar yang ke-32 organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (Ormas NU), mengingatkan kita kepada tradisi-tradisi yang dilakukan warganya (baca: Nahdliyin). Alkisah, dalam upacara peringatan tujuh hari, 40 hari dan 1.000 hari meninggalnya salah satu warga, tak jarang saya diundang untuk membacakan tahlil, mukadaman dan lain sebagainya. Tak terkecuali di daerah Kotagede yang notabene tempat domisili penulis. Awalnya terasa agak berat dan pekewuh. Pasalnya, selama ini dalam benak penulis beranggapan bahwa tradisi-tradisi semisal tahlil hanya dilaksanakan kaum santri (baca: Nahdliyin). Sementara Kotagede sendiri adalah termasuk salah satu basis Muhammadiyah yang besar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Selama ini tradisi-tradisi yang banyak dilakukan kaum Nahdliyin dianggap sebagian orang sebagai amalan bid’ah. Bahkan kehadiran NU oleh para ulama pesantren sebagai wadah untuk menjaga tradisi-tradisi yang dianggap bid’ah oleh sebagian kelompok Islam. Bahkan saat itu Pemerintah Arab Saudi yang dimotori Wahabi berusaha memurnikan agama Islam dengan cara meniadakan tradisi-tradisi yang banyak dilakukan kaum muslimin, termasuk menghancurkan petilasan para leluhur. Adapun Muhammadiyah adalah salah satu golongan modern yang (awalnya) berpendapat bahwa tradisi-tradisi yang masuk ke dalam ibadah adalah bid’ah.
Hanya saat ini Muhammadiyah kelihatan semakin toleran atas tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan Nahdliyin. Bahkan tak sedikit mereka yang melaksanakan tradisi-tradisi kaum Nahdliyyin tanpa harus menghilangkan stempel Muhammadiyah yang ada pada dirinya. Termasuk juga amalan-amalan yang penulis laksanakan saat diundang tahlilan di Kotagede. Banyak dari mereka yang menginginkan tahlilan untuk mengirim arwah, ternyata pengikut Muhammadiyah.
Bagi kaum Nahdliyin sendiri, tentu tidak menjadi masalah jika tradisinya dipakai golongan lain. Bahkan Nahdliyin sendiri ada setelah adanya tradisi tersebut. Di samping itu, secara pribadi, sikap toleran warga Muhammadiyah terhadap tradisi-tradisi yang banyak dijaga warga Nahdliyin perlu mendapat apresiasi yang besar. Apalagi nuansa bid’ah dan mem-bid’ah-kan tidak lagi gencar dilakukannya. Muhammadiyah dan NU kini bisa dikatakan sejalan, saling melengkapi antara satu dan yang lainnya.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah, betapa semua pekerjaan sudah dikomersialisasikan. Tak peduli apakah pekerjaan tersebut sebuah tradisi, ibadah dan lain sebagainya. Banyak orang yang mengaku sebagai orang shaleh beragama, namun di mana-mana harus mendapatkan ganti rugi saat melakukan ibadah. Banyak orang mengaku sebagai sastrawan atau budayawan, namun saat dirinya mempertontonkan karyanya, orang lain harus membayar sebagai ganti jerih payahnya. Bahkan semua itu diniatkan untuk mencari harta.
Menetapkan Tarif
Dalam tahlilan dan upacara mengirim arwah pun demikian. Banyak orang yang saat mengirim arwah mengharapkan mendapat upah dari tuan rumah. Lihatlah, saat tahlilan atau mukadaman dilaksanakan tujuh hari berturut-turut setelah kematian seseorang, jika pada hari pertama pemilik rumah tidak menyuguhnya dengan baik dan tidak ada amplop, pada hari kedua dipastikan akan semakin surut tingkat kehadiran pembaca tahlil. Ini akan berlanjut pada hari ketiga, empat hingga tujuh hari.
Ini belumlah seberapa, karena harapannya masih berada dalam hati (baca: tamak). Namun ironisnya, tidak sedikit orang-orang yang melakukan ibadah yang telah mentradisi dengan menetapkan tarif saat diundang orang lain. Anehnya, tarif tersebut bukan dimaksudkan agar dirinya dalam melaksanakan ibadah dapat berjalan dengan baik, namun agar mendapatkan keuntungan darinya. Amalan ibadah yang sudah mentradisi tersebut dijadikan alat untuk bekerja dan mencari harta kekayaan.
Tradisi komersialisasi tradisi lokal dan religius ini tak hanya terjadi pada tahlilan. Rebana yang juga awalnya dianggap bid’ah, saat ini sudah merata di masyarakat. Bahkan tak jarang upacara pernikahan juga menghadirkan grup rebana. Rebana pada awalnya banyak digunakan kaum santri untuk mengiringi selawatan kepada Nabi Muhammad SAW dan tanpa maksud apa pun selain agar semakin semarak saja. Namun setelah masyarakat dapat menikmatinya dan pas digunakan untuk iringan acara-acara sakral, maka rebana banyak digunakan untuk mengiringi acara.
Di sini posisi rebana dalam komersialisasinya lebih parah dari pada tahlil. Banyak grup rebana yang menetapkan tarif ketika diminta tolong untuk mengiringi upacara-upacara sakral. Tentu hal ini sangatlah berbeda dengan saat-saat awalnya. Saat membuka-buka buku banyak kita temukan bahwa dengan rebanalah dakwah Islam diajarkan. Dengan kata lain, rebana dijadikan sarana untuk berdakwah.
Saat melihat realita ini, kita tak dapat seratus persen menyalahkan mereka. Hanya saja sangat tidak etis jika tradisi juga amalan-amalan ibadah berakhir dengan komersialisasi. Dalam perdebatan bid’ah dan mem-bid’ah-kan, tentu akan lebih menarik jika dibandingkan dengan berdebat tentang komersialisasi budaya. Dalam bid’ah dan mem-bid’ah-kan akan tercipta suasana saling memperdalam diri dalam ilmu pengetahuan. Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain saling mencari dasar sehingga tercapai kemaslahatan antara keduanya.
Namun jika perdebatan tentang komersialisasi tradisi budaya dan agama, akan sangat tak imbang. Orang yang melakukan komersialisasi tradisi akan selalu berupaya untuk membela diri agar dirinya tetap bisa menikmati upah dari hasil karyanya. Sementara orang yang tidak setuju dengan komersialisasi tradisi, tentu akan banyak diam, karena sungkan saat harus berhadapan dengan orang-orang yang mengomersialkannya. Alasan yang digunakan adalah, tidak ingin menyinggung perasaan orang lain.
Di samping itu, saat ini tak ada sesuatu pun yang bisa didapatkan tanpa adanya pengganti. Nuansa komersialisasi sudah merambah di mana-mana. Sehingga tak heran jika para pewaris tradisi ini juga berakhir mengomersialkan tradisi yang dijaganya.
Akhir kata, komersialisasi tradisi memang tak pantas. Apalagi saat membiacarakan tradisi-tradisi yang telah menjadi perdebatan lama (baca: tahlil, dziba, mukadaman dan lain sebagainya), tentu sangat tak etis. Bagaimanapun, jika hal ini yang terus berkembang dalam masyarakat kita, tradisi tersebut pasti tak lama lagi akan menurun kualitasnya karena dapat disamakan dengan barang-barang pasaran. Di samping itu, keikhlasan pemelihara budaya juga tak lagi ada padanya. Nah, yang dapat mengurangi dan menghentikan praktik-praktik ini adalah diri pribadi masing-masing. Tinggal siap atau tidak.