Senin, 16 Maret 2009

JK, The Real President?

Oleh Anton Prasetyo

Dipublikasikan SKH Suara Karya, 17 Maret 2009

Sejak akhir Februari 2009 lalu Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) M Jusuf Kalla (JK) menggemparkan publik. Pasalnya, Wakil Presiden yang selama ini terlihat tenang, Jumat (20/2), menyatakan kesiapannya menjadi calon presiden (capres) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Sebelumnya JK memperlihatkan ketenangannya.

Jika selama ini JK tidak menampakkan diri atas kesiapannya menjadi capres 2009-2014 itu tidaklah mustahil. Sebagai seorang negarawan, JK menunjukkan dan memberikan contoh kepada sesama pejabat bahwa salah satu kunci sukses dalam mengemban amanat adalah adanya loyalitas kepada pemimpin. Dalam pada itu, JK juga konsisten dengan posisinya sebagai wapres periode 2004-2009. Dari sini tidak mengherankan jika JK mengoreksi penilaian mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif terhadap dirinya. JK mengatakan bahwa dirinya sebagai the real vice-president saat Syafii memujinya dengan mengatakan the real president.

Terkait dengan pernyataan kesediaan JK menjadi presiden periode 2009-2014, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, menilai, pernyataan JK tersebut hanyalah teknik untuk membeli waktu (buying time) dalam menghadapi berbagai tekanan dari dalam Partai Golkar. Dirinya tidak mau frontal bertentangan dengan sejumlah aspirasi yang muncul di internal Golkar. Bagi dia, pengurus daerahlah yang dipertimbangkan aspirasinya.

JK yang sekarang menjadi orang nomor dua di Indonesia rencananya akan mengendarai partai yang diketuainya. Tentu saja itu bisa terjadi jika partai berlambangkan pohon beringin ini dapat memenangkan pemilu pada 9 April mendatang. Sebelumnya Partai Golkar sudah ada yang ingin menumpanginya. Dia tidak lain dan tidak bukan adalah kader Partai Golkar juga. Masyarakat pun tidak asing lagi dengannya, Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Kendati begitu, semua mempunyai hak yang sama. Keputusan untuk memilih keduanya yang akan diusung menjadi capres sepenuhnya ada pada Partai Golkar sendiri. Keputusan DPP dan DPD Partai Golkar setelah Pemilu 9 April adalah hasil finalnya. Bahkan, Sultan sendiri setelah diklarifikasi menyatakan ketidakkecewaannya jika Partai Golkar mencapreskan JK. Alasan Sultan adalah semua tergantung pada keputusan rapimnassus.

Yang menjadi persoalan sekarang, bagaimanakah hubungannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Terdapat dua permasalahan besar yang perlu mendapat penyelesaian. Pertama, apakah dengan kesiapannya menjadi capres-yang berarti akan bertarung dengan SBY (yang diajukan oleh Partai Demokrat) pada pemilu presiden mendatang-akan menghambat pemerintahan mereka berdua hingga 20 Oktober 2009 mendatang? Kedua, bagaimanakah rencana melanjutkan pemerintahan sekarang pada periode 2009-2014?

Sebelum menjawab kedua pertanyaan di atas, perlu diketahui beberapa hal. Sepanjang sejarah SBY-JK adalah duet yang sangat harmonis. Begitu besarnya peran JK dalam mendampingi SBY. Mereka dapat bekerja sama dengan baik. Secara faktual peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, mengungkapkan, pasangan SBY-JK punya kans yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kalau masing-masing mencalonkan diri sebagai presiden dan dengan pasangan yang lain pula. Sedangkan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Zulkieflimansyah memiliki empat opsi. Salah satu dari keempat opsi itu adalah tetap mendukung duet SBY-JK pada pasar politik capres-cawapres 2009-2014 mendatang.

Selain itu, hampir semua hasil jajak pendapat dari lembaga-lembaga survei yang valid menempatkan bahwa JK adalah tokoh yang tingkat ke-dipilih-an (elektabilitas)-nya rendah. Namun, JK ada pada tingkat ke-dikenal-an (popularitas) yang sangat tinggi. Berdasarkan hasil tersebut, hampir semua lembaga survei juga menempatkan JK lebih tepat sebagai cawapres dengan tingkat kedipilihan yang tinggi. Dengan kata lain, ke depan JK lebih tepat menjadi cawapres daripada sebagai capres.

Kendati begitu, dalam opini publik yang bermunculan, tidak sedikit yang menyatakan bahwa JK lebih pantas sebagai capres. Berdasarkan opini publik itu, JK pantas menjadi capres karena jika memang sekarang JK mempunyai tingkat popularitas lebih rendah (dibanding SBY), yang berakibat tingkat kedipilihannya lebih rendah, itu merupakan hal yang wajar. Sudah barang tentu seorang presiden mempunyai tingkat kepopuleran lebih tinggi daripada wakil presiden.

Selain itu, tingkat kedipilihan JK rendah dikarenakan selama ini dirinya diam. Dirinya tidak mengungkapkan kesiapan atau tidaknya dicalonkan menjadi presiden pada pemilu periode 2009-2014.

Nah, berdasarkan uraian tentang JK terkait dengan pemerintahannya dengan SBY dan pribadinya, dapat sedikit dirumuskan jawaban atas kedua pertanyaan di atas. Pertama, terkait dengan kesiapan JK menjadi capres akan mengganggu kinerjanya bersama SBY pada akhir pemerintahannya ini atau tidak, itu tergantung pada JK dan SBY sendiri. Jika keduanya sadar dan hendak melaksanakan bahwa menjadi presiden dan wakil presiden adalah amanah rakyat, bukan amanah partai (baca: SBY cenderung ke Partai Demokrat dan JK cenderung ke Partai Golkar), maka pemerintahan keduanya hingga Oktober mendatang akan berjalan dengan baik. Namun, jika SBY dan JK tidak peduli dengan amanah rakyat, secara otomatis duet mereka yang selama ini berjalan rapi akan berantakan. Kedua, tentang rencana melanjutkan "gaya" pemerintahan (baca: melanjutkan) duet SBY-JK jika masing-masing dari keduanya mencalonkan diri sebagai presiden, tentu tidak bisa berjalan dengan mulus. Jika nanti SBY ataupun JK menang dalam pemilu, mereka harus "mengajari" pasangannya agar bisa melanjutkan "gaya" pemerintahan.

Persoalan ini sebenarnya tidak perlu dipikirkan berkepanjangan. Toh SBY, sebagaimana yang dituliskan Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalil dalam bukunya Harus Bisa, siap menjadi apa saja. Bahkan, dirinya jika tidak menjadi presiden lagi akan mendirikan perpustakaan. Sementara JK sendiri siap menjadi apa saja. Yang terpenting bagi dirinya adalah menjadi yang terbaik bagi dirinya. Wallahualam.***

Penulis adalah koordinator litbang Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat
(LP2M) Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta