Selasa, 01 Februari 2011

Buku dan Ajang Politik

Anton Prasetyo
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 01 Februari 2011

Kehadiran buku dalam dunia pendidikan meski disambut positif. Buku adalah satu jendela ilmu yang belum terkalahkan. Bahkan dibandingkan dengan internet, buku tetap memiliki daya saing tersendiri. Dengan adanya buku, para pencari ilmu kita akan mendapatkan wawasan dan intelektual sebagaimana yang dicita-citakan.
Dalam pada itu menjadi tak heran saat Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr Hermawan Sulistyo mengatakan pada akhir Januari 2011 ini mengatakan bahwa sejelek dan sesalah apa pun keberadaan buku, masih lebih baik daripada tidak ada buku. Anak-anak didik kita memang amat butuh dan haus akan buku.
Hanya saja, saat buku menjadi media politik praktis, meski menjadi perhatian bersama. Terlebih buku-buku tersebut bukan sekedar beredar di khalayak umum, melankan sudah masuk ke dalam wadah pendidikan nasional kita. Sekolah-sekolah menjadi ajang perebutan politik praktis.
Mutakhir kita disibukkan dengan beredarnya buku-buku bertemakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak dini, buku ini sudah menimbulkan polemic. Terlebih keberadaannya dimaksudkan sebagai pengayaan bacaan siswa SMP, sebagaimana di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Sehingga dari sini terdapat sejumlah pihak yang menuding penerbitan buku SBY ini mencerminkan upaya pencitraan sekaligus politisasi bidang pendidikan seperti era Orde Baru.
Melihat realita yang terjadi semacam ini, terlepas niatan pihak SBY benar-benar menjadikan sekolah sebagai ajang politik ataupun tidak, dunia pedidikan meski melakukan langkah pasti guna menyelamatkan anak bangsa. Jangan sampai para calon pemikul kekuasaan ini semanjak awal sudah tercekiki dan dicekoki dengan politik praktis. Mereka harus suci dari beragam kepentingan. Para siswa kita meski tumbuh menjadi generasi muda yang unggul sehingga bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, nusa, bangsa, dan agama.
Terkait dengan keberadaan buku SBY, langkah yang meski dulakukan sivitas pendidikan kita adalah, menyaring buku-buku yang beredar di sekolah. Jangan sampai para siswa terkena racun politik hanya karena kesalahan pihak dunia pendidikan dalam memberikan fasilitas buku. Buku-buku gratis (free) memang sekilas menggiurkan, namun yang meski dipertimbangkan adalah akibatnya.
Terkait dengan para siswa kita meski membaca buku sebanyak-banyaknya, bukan berarti mereka dilepaskan sehingga mengonsumsi segala macam buku yang ada. Diantara siswa kita ada yang memiliki filter kuat sehingga bacaan yang ada hanya dijadikan bahan wawasan, namun juga ada yang langsung dijadikan dasar hidupnya. Maka dari itu, secara keseluruhan, penyaringan buku di lingkungan sekolah meski menjadi perhatian. Wallahu a’lam.
Penulis, Pustakawan PP Nurul Ummah Yogyakarta

Memberantas Kemiskinan di Pedesaan

Oleh Anton Prasetyo

Dimuat Suara Karya, 31 Januari 201

Kemiskinan di seluruh pelosok Indonesia tak lagi dapat hindarkan. Di desa. lapangan pekerjaan tak dapat menampung tumpukan tenaga kerja yang ada. Salah satu jalan yang menjadi fenomena sekaligus pilihan bagi warga desa adalah melakukan urbanisasi. Meskipun jalan berpindah dari desa ke kota ini tak ubahnya dengan pemindahan tempat kantong-kantong kemiskinan, tetap saja urbanisasi menjadi pilihan utama.
Betapa ritual urban yang sudah mentradisi ini sering mengalami kegagalan, namun tetap saja warga menjadikan perpindahan ini sebagai satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib hidupnya. Kepadatan Kota Jakarta yang melebihi ambang batas tidak pernah dirisaukan. Yang terbayang dalam benak para warga urban adalah, bahwa perputaran rupiah di kota begitu cepatnya sehingga dirinya berharap bisa 'kecipratan' uang tersebut.
Realita semacam ini memang tidak bisa dibantahkan begitu saja. Apalagi, hingga kini warga desa selalu mengadakan 'puasa massal' sepanjang zaman karena tiadanya harta yang bisa dijadikan bekal untuk kesejahteraan. Mereka harus puasa dari makan dan minum yang layak, puasa dari berpaikaian indah, puasa dari berkendaraan mewah, puasa dari tempat tinggal yang megah dan lain sebagainya.
Jika saja puasa yang harus dilakukan ini masih dikatakan dalam batas kewajaran, dalam arti mereka bisa makan, berpakaian dan tempat tinggal yang layak, hal itu tidak jadi masalah. Namun demikian, bukan kondisi layak yang dijalani warga desa ini. Dalam pemenuhan kebutuhan primer saja, mereka masih sangat terkatung-katung.
Lihatlah, betapa banyak di antara warga desa yang dalam mengonsumsi makanan, tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk bisa makan 2 (dua) kali sehari. Kalau pun masih bisa makan sekali sehari, itu pun dengan kualitas makanan yang ada sangat memrihatinkan.
Kandungan gizi yang meski dibutuhkan tubuh, tidak pernah tercukupi sesuai dengan yang selama ini banyak diteorikan. Rumah-rumah warga masih banyak yang terbuat dari kayu dengan dinding anyaman bambu (gedek) dengan kondisi yang sangat memrihatinkan. Kondisi ini pun masih sedikit layak dibandingkan dengan masih banyaknya warga yang tidak mempunyai rumah hunian dan hanya bisa hidup menggelandang.
Tetap Tertindas

Betapapun kepergian warga desa ke kota memiliki tujuan mulia lengkap dan untuk menjaga prestise diri. Namun, tanpa memiliki bekal yang cukup, mereka cenderung akan terkatung-katung setelah pindah dari desa ke kota. Bagaimana tidak, diteorikan atau tidak, secara alamiah, dengan semakin menumpuknya pekerjaan, tanpa adanya imbangan lapangan pekerjaan, dipastikan akan banyak pekerja yang harus menganggur. Dalam hal ini, warga desa-lah yang nomor satu akan disepak dari lapangan pekerjaan yang ada.
Dalam filsafat Survival of Yhe Fittest diterangkan bahwa Charles Darwin dengan sangat baik menggambarkannya dalam satu hipotesis sederhana: hanya ada satu hukum umum yang mengarah pada perbaikan seluruh makhluk hidup, yakni berkembang biak, buatlah variasi, biarkan yang paling kuat hidup dan yang paling lemah mati. (Ahmad Rafsanjani: 2010)
Dari hipotesa Darwin inilah akan tercermin betapa warga desa saat mencari lapangan pekerjaan akan menjadi objek 'yang paling lemah mati'. Dirunut dari awal niatan berurban saja, warga desa sudah kentara sebagai orang-orang yang lemah. Bukan sekedar lemah dari sisi ekonomi belaka, melainkan juga lemah dalam segala hal, termasuk pendidikan dan pengalaman.
Bagaimana mungkin warga desa akan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam hal keilmuan jika pendidikan mereka umumnya lulusan SD. Bisa dibayangkan bila mereka langsung diterjunkan ke kota untuk mencari nafkah, bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga sudah ditunggu sanak keluarga untuk bisa menikmatinya. Mereka juga tidak banyak berkelana untuk mencari pengalam sehingga bisa menjadi bekal hidupnya.
Pepatah experience is the best teacher (pengalaman adalah guru yang terbaik), yang sering terdengar di telinga kita, tak pernah menjadi perhatian warga desa. Mereka dalam melakukan urban ke kota hanya berbekal nekat dengan 'impian-impian manis', dapat memperbaiki perekonomian diri dan keluarga. Namun begitu, pada lini lainnya, mereka melupakan prasyarat yang meski dicukupi agar penggapaian impian mulianya bisa terlaksana dengan mulus.
Prasyarat ilmu pengetahuan dan/atau pengalaman yang tiada dimiliki warga desa ini mengakibatkan mereka harus disingkirkan dari dunia kerja. Mereka dianggap kalah bersaing dengan orang-orang berpendidikan tinggi lengkap dengan pengalaman-pengalamannya. Orang-orang yang mampu bersaing inilah yang jika dikompromikan dengan hipotesa Darwin sebagai orang-orang 'yang paling kuat hidup'.
Berurat akar dari sinilah, tak mustahil jika banyak anak dalam melakukan urbanisasi, bukannya menjadikan ringan beban ekonomi keluarga, mereka malah menambah beban berat ekonomi keluarga. Sering kali orang tua harus memberikan ongkos berangkat anaknya yang akan bekerja ke kota dengan harapan saat pulang akan membawa uang yang melimpah, namun kenyataannya anak tersebut tidak mendapatkan pekerjaan. Alhasil, orang tualah yang harus pontang-panting, gali lobang-tutup lobang, pinjam uang ke sana ke mari hanya sekedar untuk memulangkan kembali anaknya dari kota.
Bagaimanapun urbanisasi bukanlah satu-satunya jalan untuk mengentaskan kemiskinan warga desa. Warga desa yang melakukan urbansisasi ke kota akan mencapai kesuksesan dan akan mampu mengubah perekonomian diri dan keluarganya. Sebaliknya, warga desa yang keberangkatannya tanpa modal ilmu dan pengalaman, mereka tidak akan mampu bersaing dengan para pekerja lain. Boleh jadi mereka dipastikan bisa pulang dengan tangan hampa, lengkap dengan catatan hutang.
Di antara solusi meyakinkan untuk mengentaskan kemiskinan warga desa, bukanlah dengan cara-cara instant semisal urbanisasi. Terlebih, hal yang paling penting adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan ilmu pengetahuan serta pengalaman kepada mereka. Dengan demikian, ke depan bukan sekedar mereka mampu bersaing dalam mencari pekerjaan, namun juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang ada di lingkungannya. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Staf pengajar Pondok Pesantren Nurul Ummah,
alumnus UMY dan UIN Yogyakarta