Sabtu, 28 Februari 2009

Bersama Antisipasi Flu Burung

Oleh ANTON PRASETYO

Diterbitkan di SKH Harian Jogja Februari 2009

Dari tahun 2003 hingga pertengahan 2007 penyakit flu burung atau sering dikenal Avian Influensa (AI) yang disebabkan virus influensa H5N1 masih menjadi misteri bagi masyarakat. Bahkan di awal 2009 kali ini flu burung kembali menyapa kita. Memang penyakit ini dianggap sebagai penyakit ganas yang mematikan. Selain itu, di samping belum ditemukan obat yang cocok untuk dapat mengobati pasien, orang yang sudah terjangkit virus ini seakan sudah tidak dapat diselamatkan nyawanya lagi.
Dari sinilah seluruh komponen yang ada di negara bermaksud menghindari penyakit ini. Dari pihak pemerintah telah mencanangkan adanya pemberantasan unggas peliaraan yang ada di masyarakat ’meskipun sampai sekarang tidak ada hasilnya’. Adanya sosialisasi kepada masyarakat akan bahayanya penyakit yang di akibatkan virus influensa H5N1 ini. Bagi sebagian peternak, mereka rela unggasnya di musnahkan dan dimanfaatkan siapa saja tanpa adanya ganti rugi. Di samping itu masyarakat sendiri selalu berhati-hati terhadap perunggasan, terutama dalam mengkonsumsinya.
Namun demikian pemberantasan AI yang identik dengan pemusnahan unggas menuai banyak hambatan. Selain ada sebagian komponen negara yang medukung adanya pemusnahan unggas, banyak juga komponen yang menentangnya karena dianggap merugikan. Bagaimana tidak, dalam hal ini peternak unggas merupakan objek terbesar dalam program pemusnahan unggas ini. Selain harus mengorbankan unggasnya yang bernilai tinggi, di saat-saat mendatang mereka pasti akan kehilangan pencaharian tetapnya.
Antisipasi bersama
Begitu mengerikannya akibat yang diberikan virus flu burung. Untuk itu perlu adanya antisipasi. Jangan sampai masyarakat terkena dampak negatif virus flu burung. Setidaknya ada dua pihak yang dapat mengantisipasi dampak negatif virus flu burung. Pertama, pihak peternak unggas harus selalu waspada dengan terus memperhatikan ternaknya. Jangan sampai para peternak tidak mengetahui gejala-gejala adanya flu burung pada unggasnya. Jika para peternak tidak menegetahui gejala-gejala adanya flu burung pada peliharaannya akan berakibat fatal. Selain unggasnya akan mati satu pertasatu atau bahkan bersamaan dapat menyebabkan kematian pada orang yang ada di sekitarnya.
Jika saja ada peternak yang tidak mengetahui gejala-gejala flu burung pada ternaknya nantinya akan berakibat pada pengonsumsian daging unggas orang-orang yang ada di sekitarnya. Meski pada flu burung sebuah unggas mati dengan sekejap namun tidak menutup kemungkinan ada seorang peternak unggas yang mengetahui unggasnya sakit langsung disembelih dan dimasak untuk di konsumsi. Di sinilah letak ketidakbenaran yang perlu diperhatikan. Jika benar-benar ada seorang peternak semacam ini berarti sama halnya menularkan virus flu burung dari unggas kepada manusia. Akibatnya manusia yang terkena virus flu burung pun tidak bisa dielakkan lagi untuk segera berpamitan kepada keluarga, handai taulan, tetangga untuk selama-lamanya.
Kedua, pemerintah juga harus membantu kepada seluruh masyarakat, utamannya yang mempunyai ternak unggas agar mereka tahu bagaimana gejala-gejala unggas terjangkit virus flu burung. Selain itu pemerintah juga harus memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana ciri-ciri unggas yang terkena virus flu burung.
Terdapat dua dampak negatif jika saja masyarakat tidak tahu bagaimana ciri-ciri unggas yang terkena virus flu burung dan bagaimana yang tidak. dampak negatif yang ada sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Jika ada unggas terkena virus flu burung sementara masyarakat tidak tahu maka masyarakat akan memakannya. Padahal jika ini dilakukan akan mengancam keselamatan konsumen daging yang terkena virus flu burung.
Selain itu jika masyarakat tidak tahu ciri-ciri unggas yang terkena virus flu burung, tidak menutup kemungkinan mereka akan bertindak boros. Dapat dikatakan boros karena masyarakat selalu merasa was-was dengan adanya virus flu burung. Mereka akan membuang atau memusnahkan seluruh unggasnya yang sakit. Padahal tidak seluruh unggas yang terganggu kesehatannya disebabkan virus flu burung. Nah di sinilah letak boros yang dilakukan masyarakat. Seharusnya unggas dapat dinikmati sebagai lauk makanan keseharian dan tidak memabahayakan, karena ketidaktahuannya unggas tersebut dibuangnya begitu saja.
Nah dari sinilah pemerintah dalam mengupayakan lebih maksimal lagi dalam memberikan sosialisasi virus flu burung terhadap unggas. Jangan sampai masyarakat resah atau bahkan harus kehilangan nyawa karena ketidaktahuannya tentang virus flu burung. Melalui seminar, iklan layanan masyarakat di media dan sejenisnyalah sosisalisasi virus flu burung akan dapat terlaksana. Wallahu a’lam

Nasib Produsen Pupuk Organik Kebumen

Oleh ANTON PRASETYO
Koordinator Litbang LP2M Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta

Dipublikasikan di SKH Suara Merdeka, 21 Februari 2009

Langkah maju telah diupayakan pemerintah dalam rangka meningkatkan dan/atau mempertahankan kesejahteraan petani. Semenjak akhir tahun 2008 Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi menjelaskan, awal Januari 2009 ini pemerintah menaikkan harga pokok penjualan (HPP) Gabah.
Ketetapan pemerintah ini tidak hanya pada satu jenis gabah, melaikan HPP untuk semua jenis gabah. Di dalam gudang Bulog, pemerintah menaikkan harganya sebesar tujuh persen sehingga menjadi Rp 4.600 per kilogram. Sementara di tingkat petani, HPP gabah kering panen (GKP) naik 9,1 persen menjadi Rp 2.400 per kilogram dari sebelumnya Rp 2.240 per kilo gram. Di penggilingan, HPP Gabah Kering Giling (GKG) dari sebelumnya Rp 2.400 per kilogram, naik 7,2 persen menjadi Rp 3.000 per kilogram.
Menariknya, ketetapan ini bersamaan dengan pemerintah juga menurunkan harga bahan baker minyak (BBM). Tentu dengan kenyataan ini akan dapat dirasakan banyak masyarakat. Memang jika kebijakan menaikkan HPP terkesan memberikan ruang bernafas bagi kaum cilik, merupakan sebuah kewajaran. Pasalnya kebijakan menaikkan HPP kali ini merupakan bagian dari substansi Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan yang akan diberlakukan awal Januari 2009.
Diantara Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2008 adalah menaikkan HPP, mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pascapanen padi, penggunaan pupuk organik, dan anorganik secara berimbang dalam usaha tani, mendorong dan menfasilitasi penggunaan benih padi unggul bersertifikat, mengendalikan pengurangan luas lahan irigasi teknis, memfasilitasi rehabilitasi lahan, dan penghijauan daerah tangkapan air serta rehabilitasi jaringan irigasi.
Subsidi pupuk
Masih teringat betul beberapa saat yang lalu saat petani seluruh Indonesia mengeluhkan ketiadaan pupuk. Padahal bagi petani, pupuk adalah salah satu barang yang meski dipenuhi, jika akan mendapatkan penghasilan yang memuaskan. Jika pupuk tidak ditemui, dapat dipastikan petani tidak akan mendapatkan untung dikarenakan hasil panen tanamannya tidak bisa maksimal.
Dengan begitu langkah pemerintah dalam upayanya mencukupi petani dalam pemupukan tanamannya melalui subsidi sangatlah baik adanya. Apalagi dalam pendistribusiannya, pemerintah tidak lagi melaksanakan secara bebas. Pedagang yang sebelumnya bebas menjual pupuk untuk petani, mulai saat ini mereka tidak lagi menjualnya. Distribusi pupuk sudah dikelola pihak pemerintah sendiri.
Tentu dengan realita semacam ini harga pupuk tidak lagi membumbung sebagaimana yang terjadi pada tempo sebelumnya. Apalagi perkembangan pertanian pemerintah di bawah asuhan Meneteri Pertanian Anton Apriantono, akan menindak tegas bagi distributor pupuk yang melakukan penyelewengan. Distributor pupuk tidak diperbolehkan mengambil untung dengan menaikkan harga pupuk. Pemerintah telah menyediakan gaji tersendiri bagi distributor pupuk.
Kenyataan ini tentu akan sangat memberikan kebahagiaan tersendiri bagi petani. Para petani tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkan pupuk. Mulai saat ini, mereka cukup menjadi anggota pada kelompok tani yang diakui pemerintah, mereka akan dengan mudah mendapatkan pupuk. Terkait kenapa para petani harus terdaftar menjadi anggota kelompok tani jika akan mendapatkan pupuk dikarenakan pemerintah dalam mendistribusikan pupuk melalui kelompok tani. Bagi yang membeli secara individu tidak akan mungkin dilayani.
Kendati demikian kenyataan ini adalah terkecuali para petani yang ada di Kebumen. Para petani sudah merasa cukup dengan adanya pupuk buatan produsen. Bahkan para produsen pupuk organilah yang merasa khawatir dengan adanya pupuk organik bersubsidi dari pemerintah. Alasan mereka merasa resah dikarenakan produsen ini sudah membuat pupuk organik tersendiri. Hingga saat ini terdapat produsen pupuk organik yang sudah sedia stok sejumlah 4 juta ton. Rencananya, pupuk sebanyak ini akan didistribusikan kepada petani di daerah Kebumen saat musim tanam tiba.
Sudah menjadi barang tentu, jika saja pemerintah meluncurkan pupuk organik bersubsidi kepada pihak petani, produsen pupuk yang telah banyak berjasa pada petani pada saat-saat sebelumnya akan mengalami kerugian. Para petani akan lebih memilih pupuk organik bersubsidi dari pemerintah dibandingkan dengan harus membeli pada produsen. Apalagi harga yang dipatok produsen lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditetapakan pemerintah. dalam rencananya, harga pupuk organik bersubsidi adalah Rp 400 per kilogram. Sementara harga pupuk organik yang ditetapkan produsen adalah Rp 700 hingga Rp 800 per kilogram. harga ini lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang mencapai Rp 1.000 per kilogram.
Memang jika dinilai sekilas pemerintah harus tetap memberikan subsidi kepada pihak petani. Petani akan lebih sejahtera jika menggunakan pupuk organik bersubsidi. Kendati demikian, benarkah itu semua? Bukankah para petani tidak hanya membutuhkan pupuk saja untuk mendapatkan hasil pertanian yang maksimal? Kiranya tidak hanya pupuk saja yang diperlukan petani sehingga dapat mendapatkan hasil yang maksimal. Hingga kini banyak petani (tidak terkecuali di daerah Kebumen) yang masih awam dengan pertanian. Mereka lebih menekankan kepada tradiri mencontoh para pendahulunya. Keilmuan dan informasi bagaimana agar dapat meningkatkan produktifitas pertanian kurang begitu didapatkan.
Bermula dari sini tidak ada salahnya jika anggaran subsidi pupuk di wilayah Kebumen, dikarenakan pupuk organik sudah ada yang memproduksi, dialihkan kepada peningkatan produktifitas pertanian melalui cara yang lain. Adanya pelatihan pertanian yang standar, pengadaan peralatan pertanian modern dan semacamnya kiranya sangat perlu jika dibandingkan dengan pengadaan pupuk.
Pertimbangan lain, tegakah pemerintah mematikan penghasilan produsen pupuk yang selama ini melayani masyarakat petani dengan baik? Aplagi mereka saat sekarang sudah mempunyai stok yang tidak dapat dikata sedikit. Sementara harga yang mereka patok juga tidak begitu melambung. Tentu kita tidak ingin menjadikan orang lain susah saat diri merasakan kenikmatan. Wallahu a’lam

Fatwa Haram Rokok, RUU PDTTK dan Nasib Petani Tembakau

Oleh ANTON PRASETYO

Diterbitkan di SKH Harian Jogja

Sidang Ijtima’ Ulama Fatwa III Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat sudah berlangsung satu bulan yang lalu. Tepatnya tanggal 23-26 Januari 2009 sidang dilaksanan.
Hasil sidang Ijtima’ ini salah satunya adalah memutuskan fatwa haram merokok hanya berlaku bagi wanita hamil, anak-anak, dan merokok di tempat umum. Keputusan ini disambut gembira oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Ikatan Ahli Kesehatan. Sejak awal mereka sudah mendatangi kantor MUI guna membicarakan hukum merokok dengan harapan agar segera menetapkan fatwa haramnya rokok. Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengharapkan angka perokok di kalangan anak akan terminimalisir dengan ditetapkannya fatwa haram ini.
Dukungan atas fatwa keharaman merokok bagi anak dan remaja juga mendapat sambutan hangat dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Alasan yang ditunjukkan adalah bahwa merokok mempunyai dampak negatif lebih tinggi dibandingkan dengan dampak positifnya, bahkan tidak ada dampak positifnya. Di Jakarta Ketua Umum IPNU Idy Muzayyad berkata bahwa merokok jelas-jelas membawa mudarat dan kerusakan terutama bagi remaja dan sama sekali tidak ada manfaat dan kebaikan yang didapatkan dari perbuatan merokok itu.
Pun begitu terdapat kesimpangsiuran antara keputusan MUI dan para tokoh penting dalam agama Islam. Meski MUI telah memfatwakan keharaman merokok namun Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi (meskipun menghargai hasil Ijtima’ tersebut) tetap menyayangkan keputusan fatwa keharaman rokok. Menurutnya, semenjak dulu NU mempunyai pendapat bahwa merokok hanya diberi fatwakan makruh, tidak sampai haram.
Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) yang merupakan kumpulan 150 pondok pesantren (ponpes) se-Jawa Timur dalam Bahtsul Masail-nya menjadi salah satu penguat apa yang dikatakan Hasyim. Bahtsul Masail atau forum pembahasan masalah di Ponpes Mamba'ul Hikam Desa Mantenan, Udanawu, Kabupaten Blitar, Jawa Timur menolak fatwa MUI tentang keharaman merokok.
Abdul Manan sebagai perumus Bahtsul Masail Komisi C, dari ponpes Salafiyah Al Falah Ploso, Kediri menjelaskan bahwa kultur sosial dan ekonomi menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum haram atau tidaknya merokok. Menurutnya, dengan adanya rokok berarti terdapat lapangan pekerjaan. Selain itu secara kultur sosio, di tanah Jawa merokok adalah sudah sewajarnya dan menjadi kebiasaan bagi kaum laki-laki. Sehingga dari adanya fatwa haramnya rokok ini akan membingungkan masyarakat.
Perdebatan kedua belah pihak ini sangatlah pelik dan sukar dicari jalan keluarnya. Antara MUI dan para ulama NU dari pesantren mempunyai dasar-dasar tersendiri. Yang pasti dalam penentuan keharaman atau tidaknya dalam merokok adalah mencari perbandingan antara kemaslahatan adanya rokok dan madzaratnya. Jika lebih banyak manfaatnya maka secara otomatis rokok tidak haram dan jika lebih banyak nilai madzaratnya maka secara otomatis pula rokok hukum merokok adalah haram.
Petani tembakau
Terlepas dalam merokok dapat mengganggu kesehatan, merokok menjadi tradisi kaum laki-laki termasuk kiai di ponpes dan lain sebagainya, rokok juga erat kaitannya dengan sumber penghasilan penduduk petani tembakau. Para petani tembakau dipastikan akan kehilangan pekerjaan tetapnya jika rokok benar-benar diharamkan dan tidak ada pabrik yang memproduksi rokok lagi.
Jika fatwa keharaman rokok benar-benar dilaksanakan berarti menyumbat produksi pabrik rokok. Jika pabrik rokok tersumbat dalam pemroduksiannya berarti juga mengurangi karyawan yang menggarap pembuatan rokok. Kaitannya dengan petani, pabrik rokok tidak lagi membeli tembakau sebagaimana sebelumnya. Akhirnya harga tembakau akan merosot drastis dikarenakan banyaknya tembakau hasil panen dan minimnya pabrik rokok yang membelinya. Hukum ekonomi mengatakan, jika barang langka maka harga akan tinggi dan jika barang melimpah maka harga akan turun.
Parahnya, kondisi ini akan menjadikan para petani kehilangan lapangan pekerjaan. Mereka yang setiap harinya sudah nyaman dengan pekerjaannya sebagai petani tembakau sebagai sumber pokok perekonomiannya, dengan adanya fatwa ini mereka harus berhenti. Jika tidak, sama halnya dengan berusaha bukan untuk mencari untung melainkan untuk bunuh diri karena dengan mereka tetap menanam tembakau sementara saat panen tidak ada lagi yang membelinya, sama halnya dengan merusak jalannya perekonomian keluarga dan jika perekonomian keluarga sudah mati, maka akan mati pulalah keluarga tersebut.
Tidak heran jika dalam menyikapi permasalahan pelik ini terdapat kegelisahan di berbagai kalangan. Termasuk juga fatwa keharaman merokok yang dikhususkan bagi wanita hamil, anak-anak, dan merokok di tempat umum menimbulkan permasalahan tersendiri di tingkat petani. Di Jawa Tengah misalnya, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Brata mengungkapkan kegelisahan nasib petani tembakau setelah difatwakan keharaman merokok di tempat umum. Dirinya mengharapkan MUI memberikan kejelasan mengenai tempat umum yang dilarang untuk merokok. Menurut Wisnu, Karena jika kita keluar rumah, berada di jalan atau lapangan sudah masuk tempat umum.
Kegelisahan peteni kian hari semakin dirasakan. Apalagi saat ini pemerintah juga sedang menggodog RUU Pengendalian Dampak Tembakau Terhadap Kesehatan (PDTTK). Tentu RUU ini akan semakin mempersempit peluang kesejahteraan petani tembakau. Apalagi sekarang PT Bentoel yang notabene sebagai pabrik rokok terbesar di Indonesia sudah menyetop pembelian tembakau dari wilayah Temanggung Jawa Tengah. Dengan adanya realita semacam ini tidak mustahil jika tanggal Senin (16/2) ribuan petani tembakau berunjuk rasa di Alun-alun Temanggung. Bahkan unjuk rasa tersebut dihadiri juga perwakilan petani tembakau dari Kabupaten Magelang, Wonosobo, Garut Jawa Barat, dan Purworejo dengan ancaman akan membaikot pemilu dan tidak akan membayar pajak jika suaranya tidak dihiraukan pemerintah.
***
Uraian singkat ini setidaknya dapat memberikan gambaran betapa luasnya cakupan yang harus dikaji untuk menetapkan sebuah kebijakan, termasuk hukum dalam fatwa. Untuk menentukan keharaman rokok tidak cukup melihat rokok dapat mengganggu kesehatan sebagaimana yang diperingatkan pemerintah dalam setiap bungkus rokok, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Selain pertimbangan dampak langsung dari merokok juga perlu meneliti bagaimana kondisi pabrik hingga petani.
Hemat penulis, bisa saja rokok difatwakan haram jika seluruh permasalahan terselesaikan. Adanya perokok aktif yang sangat menggantungkan hidupnya pada rokok harus ditumpas terlebih dahulu. Di tingkat petani tembakau dan pekerja yang terkait dengan rokok harus diberikan solusi lain jika harus meninggalkan lapangan pekerjaannya. Dan sudahakah ragam permasalahan ini diselesaikan sebelum adanya fatwa? Atau belum sempat terfikirkan sama sekali? Wallahu a’lam

Geliat Caleg Jelang Pemilu 2009

diterbitkan di koran Merapi
Oleh ANTON PRASETYO
Aroma perhelatan pesta demokrasi 2009 kian hari kian menyengat. Calon-calon pemimpin bangsa mulai nampang di layar televisi hingga ngebaki halaman surat kabar. Visi serta misi diperlihatkan untuk menarik simpati pemirsa. Bagi yang pandai mengolah kata dan berkantong tebal, dipastikan merekalah calon sang juara.
Kendati demikian, inikah calon pemimpin yang akan kita jadikan sopir bagi kendaraan yang bernama Indonesia? Mampukah sopir berkantong tebal dan bermuka manis menyopir sekaligus membenahi awak kendaraan Indonesia yang sudah rusak?
Kini Indonesia bukanlah sebuah kendaraan yang waras sehingga siapapun yang menyopirnya dapat berjalan dengan lancar. Dinamo serta motor penggerak mesin kendaraan Indonesia sudah bobrok. Tentu tanpa seorang yang terampil dan mempunyai keahlian di bidang ‘otomotif’, tidak mungkin akan bisa menjalankan roda kendaraannya. Alhsil, kendaraan negara Indonesia akan terus mengalami kemandegan dan atau bahkan mundur karena jalannya menanjak dan ada faktor ekstern lain yang menggandolinya.
Geliat parpol dan/atau caleg
Harus mengelus dada tatkala penulis berkunjung di beberapa kecamatan di daerah Gunung Kidul dan sebagaian Bantul. Bagi penulis, area kota Yogyakarta dan jalan-jalan lajur utama menuju kabupaten serta perempatan dan pertigaan jalan raya, menjadi latar pemasangan gambar calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) tidaklah mengapa. Namun, jika di gang gang jalan masuk perkampungan hingga area persawahan daerah-daerah pelosok desa terdapat gambar parpol dan/atau caleg yang melimpah, terkesan berlebihan menjadikan duri dalam hati tersendiri bagi penulis.
Betapa tidak, kala masyarakat tidak tahu menahu dunia perpolitikan dan tidak mengenal apa sebenarnya parpol serta siapa sebenarnya caleg yang gambarnya terpampang di setiap tepi jalan, mereka terus dicekoki dengan kemunculan berbagai parpol dan/atau caleg yang sebenarnya hanya memperlihatkan dirinya secara setengah-setangah. Dikata setengah-setengah dikarenakan apa yang mereka sampaikan kepada warga hanyalah sesuatu yang bernada baik.
Akibatnya masyarakat nantinya dalam mengikuti pemilihan umum (pemilu) 2009 bukan berdasar pilihan yang meskinya ia pilih. Jika yang seharunya mereka pilih adalah parpol dan/atau caleg yang dimungkinkan akan dapat menyetir kendaraan bangsa Indonesia, namun karena ketidaktahuannya, maka masyarakat memilih siapa yang paling dikenalnya melalui gambar-gambar yang terpampang di sekitar tempat ia berdomisili.
Parahnya, masyarakat desa gampang sekali terpengaruh karena sedikit bujukan yang mengandung unsur simpatik kepadanya. Pengaspalan jalan, pengadaan fasilitas olah raga, hingga pemberian barang-barang remes semisal daging kurban menjadi metode empuk para parpol dan/atau caleg dalam menghimpun massanya.
Memang kondisi ini diakibatkan parpol dan/atau caleg tidak ingin membuang kesempatan emas (baca: masa-masa kampanye) yang diberikan komisi pemilihan umum (KPU) yang hanya 268 hari. Bagi parpol dan/atau caleg serta pendukungnya tanggal 12 Juli 2008 hingga 5 April 2009 adalah hari-hari ‘haram’ untuk berleha-leha. Saat itulah mereka berkampanye, bergerilnya mencari simpatisan kepada masyarakat sebanyak-banyaknya agar mau menjadi pendukung dan atau sekedar menjadi memilihnya pada pelaksanaan pemilu mendatang.
Siapa calon pemimpinmu?
Kendati pihak parpol dan/atau caleg menginginkan masa sebanyak-banyaknya sehingga pada pemilu 2009 nanti menjadi parpol dan/atau caleg paling unggul dalam perolehan suara namun pembodohan terhadap masyarakat hendanya dihindari. Hanya saja serasa tidak mungkin jika ketidakaadaan pembodohan kepada masyarakat ini diterapkan kepada parpol dan/atau caleg. Pasalnya, mereka membutuhka massa sebanyak-banyaknnyanya sehingga sangat berkebalikan jika harus mengindahkan nilai-nilai tersebut.
Tidak hanya itu, untuk mendapatkan massa sebanyak-banyaknya cara-cara yang dilarang dalam aturan main berkampanye pun dilanggar. Dalam berkampanye mempunyai aturan tersendiri, termasuk tempat-tempat yang diperbolehkan untuk dipasangi atribut parpol dan/atau caleg serta tempat yang tidak diperbolehkannya. Sedikit menengok pada UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut diterangkan bahwa tempat pendidikan dilarang untuk ajang kampanye, termasuk dalam bentuk pemasangan atribut parpol dan/atau caleg.
Nah dari sinilah saatnya pihak pemerintah harus turun tangan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebagai bekal dalam pelaksanaannya. Pertama, pemerintah harus menindak tegas parpol dan/atau caleg yang melakukan pelanggaran dalam kampanye. Kedua, untuk mengurangi pembodohan kepada masyarakat awam, pemerintah harus bisa memberikan informasi semaksimal mungkin daftar sekaligus gambaran umum secara jujur terhadap parpol dan/atau caleg kepada masyarakat.
Pada pesta demokrasi 2009 kali ini pemerintah terkesan hanya menekankan pemberitahuan informasi perubahan cara melakukan pilihan, yaitu dari ‘coblosan’ diubah menjadi ‘contrengan’ atau ‘contengan’. Jika saja pemerintah mampu melakukan terobosan kedua, memberikan informasi gambaran umum seluruh parpol dan/atau parpol yang mengikuti pemilu 2009 mendatang dapat dipastikan pembodohan kepada masyarakat awam akan berkurang drastis. Masyarakat pun akan memilih calon pemimpinnya sesuai dengan kata hatinya, bukan sekedar memilih ‘ngawur’ karena geliat parpol dan/atau caleg yang sebenarnya tidak merepresentasikan dirinya. Wallahu a’lam